REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) mengkritik rencana Presiden SBY menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Langkah tersebut dinilai akan menimbulkan komplikasi ketatanegaraan yang tidak sederhana.
Demikian disampaikan peneliti ASHTN Indonesia, Afifi Sunardi dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Rabu (1/10). "Kegentingan yang memaksa seperti apa yang terjadi sehingga Presiden terbitkan Perpu?" tanya alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Afifi menyitir Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 tentang prasyarat yang harus ada saat Presiden menerbitkan Perppu. Dia menilai, saat ini tidak ada ihwal yang menjadikan kegentingan yang memaksa.
"Justru Perppu Pilkada dapat dimaknai sebagai cara Presiden mencari jalan keluar atas persoalan yang menimpa dirinya. Kesan sesuka hati dalam penerbitan Perppu sulit ditampik," kata Afifi.
Sikap demikian, Afifi menilai bisa dianggap sebagai sikap pelecehan terhadap konstitusi. Norma yang terkandung di konstitusi, sambung Afifi, tidak bisa digunakan untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.
"Konstitusi harus dimaknai sebagai upaya negara untuk memberi perlindungan kepada seluruh tumpah darah, bukan untuk kepentingan pribadi sesuka hati," kata Afifi.
Afifi juga menyoroti rencana SBY yang akan meneken UU Pilkada namun juga akan menerbitkan Perppu Pilkada. "Harap diingat, pengesahan UU Pilkada beberapa waktu lalu merupakan perwujudan persetujuan antara DPR dan Presiden. Bagaimana bisa, presiden telah menyetujui namun di saat bersamaan tidak setuju. Ini sama saja melecehkan DPR," kata Afifi menegaskan.