REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI – Setelah empat jam mengarungi angkasa, pesawat Boeing B747-400 berukuran jumbo milik maskapai Eva Air bernomor penerbangan BR 238 itu pun mendarat mulus di Bandara Internasional Taoyuan, Taipei, Taiwan.
Kedatangan saya ke negara yang masih ‘bermasalah’ dengan induk semangnya (Cina) tersebut untuk meliput persiapan Taiwan dalam menghadapi konferensi tingkat tinggi (KTT) Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) 2014 yang digelar bulan depan di Cina.
Taiwan menjadi anggota APEC sejak 1994 silam. Negara ini tengah meneguhkan posisinya dalam percaturan ekonomi di kawasan regional dan dunia.
Keletihan mengarungi jarak tempuh 3.813 kilometer penerbangan Jakarta-Taipei, akhirnya terobati begitu kaki menjejak ruangan imigrasi Taiwan pada pukul 20.45 waktu setempat. Waktu Taiwan satu jam lebih awal dibanding Jakarta, mirip dengan waktu Indonesia bagian tengah (WITA).
Antrean manusia tampak mengular di depan bilik-bilik pemeriksaan, baik di area Citizen maupun Non-Citizen. Kebetulan saya mendapat antrean di belakang seorang wanita berwajah Melayu. Ia nampak sibuk mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan untuk menyeberangi bilik pemeriksaan.
Selain paspor, sang wanita juga nampak menyiapkan semacam kartu tanda pengenal mirip KTP. “Kartu apa itu, Bu?” tanya saya iseng.
Ia nampak kaget. “Ini kartu ID Card sementara,” jawabnya. “Lha, emang sampeyan tak punya kartu ini?” ia balik bertanya.
Saya cuma menggeleng. “Setiap TKI di Taiwan kan pakai ini. Emang sampeyan berapa lama kerja di sini?” ia terus mengejar.
“Saya baru masuk, Bu. Tapi diam-diam, ya! Saya masuk lewat jalur gelap,” kata saya mencoba berkelakar. Segurat senyum mengembang di wajahnya.
"Tenang saja, Mas. Banyak kok TKI yang masuk lewat jalur gelap seperti sampeyan ini. Emang mau kerja di mana?" Si ibu bertanya lagi.
“Mau kerja di MOFA, Bu?”
“Apa itu?”
“Ministry of Foreign Affairs Taiwan.”
“Rumah pejabat, ya?”
Lagi-lagi saya hanya membalas dengan anggukan. Ketika asyik berbincang dengan si ibu, saya meraih telepon genggam dari dalam tas dan mencoba memotret suasana imigrasi bandara Taoyuan.
Tiba-tiba seorang petugas imigrasi mendekati seraya menegur dengan sopan. “No picture please, Sir!”
“Mas, jangan macam-macam di sini. Nanti ketahuan sampeyan TKI gelap,” kata si ibu. “Saya sih aman karena punya KTP sini.”
“Maaf, Bu. Kelupaan,” timpal saya. Ia kemudian dipanggil petugas imigrasi, diperiksa, lantas menghilang dari hadapan.
Begitu keluar pemeriksaan imigrasi, saya mencari-cari tulisan nama pada kertas yang dipegang para penjemput di bandara. Sayang, tak ada. Saya lantas menghadap ke petugas di bagian informasi. Sang petugas dengan ramah meminta kontak yang akan saya datangi, kemudian menelepon kantor MOFA sebagaimana tertera dalam daftar itu.
Setelah berbincang sejenak, sang petugas mengabari, “Tenang, Pak. Jemputan anda akan tiba 10 menit lagi. Silakan tunggu sebentar di situ.” Jari telunjuknya mengarah ke deretan bangku di ruang tunggu.
Saya lantas mencari colokan listrik untuk menge-charge telepon genggam. Tak sampai tujuh menit mengisi energi ponsel, tiba-tiba si petugas tadi sudah muncul di hadapan saya. “Ini Pak penjemput anda," ujarnya sembari menunjuk pria tinggi besar dan berkaca mata di sebelahnya.
"Saya Konrad-Wo dari MOFA," kata si lelaki memperkenalkan diri, lalu mengajak saya keluar bandara, mencari mobil penjemput yang dibawa sopirnya.
Ketika mobil datang, sang sopir langsung menyodorkan saya sebotol teh dingin sembari tersenyum ramah. Mobil pun melaju meninggalkan bandara Taoyuan, memasuki jalanan besar dan cukup ramai namun lancar.
Setelah itu, kendaraan melaju memasuki jalan tol tanpa gerbang pengutip biaya masuk. Saya heran dan bertanya pada Konrad, “Benarkah ini jalan tol?”
“Iya,” timpalnya.
“Kok nggak bayar?”
“Lha, memang di sini tidak ada jalan yang pakai bayar, kok.”
“Oh, begitu.”
“Urusan jalan atau infrastruktur yang laik itu adalah tanggung jawab pemerintah terhadap rakyatnya. Kami tidak ingin membebani rakyat dengan mengutip biaya di jalanan,” kata Konrad penuh kebanggaan dalam ucapannya.
Saya tercenung, berpikir, dan sedikit menggumam. “Kapan ya, Indonesia dapat membebaskan rakyatnya menikmati jalan tol tanpa pungutan?”