REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pemilihan kepala daerah melalui DPRD rentan terjadi politik uang yang dilakukan anggota DPRD saat proses pemilihan kepala daerah.
Meskipun demikian, KPK belum membentuk satuan tugas (satgas) untuk mencegah dini untuk tidak terjadinya suap menyuap yang dilakukan anggota DPRD dan kepala daerah.
Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo menyampaikan alasannya kenapa KPK belum membantuk satgas untuk mencegah dini politik uang yang diterima anggota DPRD dari calon kepala daerah.
"Itu sudah menjadi tugas KPK jika nanti dalam pilkada kemudian ada laporan dari masyarakat di sana. Jadi tidak perlu bikin satuan khusus," kata Johan menjawab pertanyaan wartawan saat update, Jumat (3/10).
Namun Johan memastikan, KPK pasti akan segera menindaklanjuti setiap laporan masyarakat terkait adanya proses curang dalam pemilu kada yang dilakukan di DPRD.
"Intinya kalau di sana sudah ada laporan ada informasi yang menyebut ada kongkalikong dari anggota DPRD dengan calon baik itu gubernur maupun itu bupati, KPK bisa saja menindaklanjuti itu," katanya.
Meskipun KPK mengkritik keras pilkada dipilih melalui DPRD, kata Johan, sejauh ini memang KPK belum melakukan kajian untuk mencegah terjadi suap menyuap antara pemilih dan yang dipilih.
"Saya mendengar memang belum ada kajian dari KPK secara khusus apakah pilkada yang dipilih DPRD itu lebih besar peluang untuk terjadi money politic atau tidak. Itu memang belum ada kajian itu," ujarnya.
Tetapi kata Johan, dari hasil yang disampaikan pimpinan KPK, bahwa potensi untuk terjadinya money politic itu lebih besar jika kepala daerah dipilih melalui DPRD. "Karena itu ada hal-hal yang berkaitan langsung dengan anggota DPRD," tutup Johan.