REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pusat kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memperkuat fungsi koordinasi dan supervisi dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam penindakan kasus korupsi di daerah.
"Sebagai antisipasi meningkatnya potensi korupsi di daerah, fungsi supervisi KPK perlu diperkuat," kata Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Oce Madril di Yogyakarta, Ahad (5/10).
Dia menilai kasus korupsi di daerah hingga saat ini banyak yang belum tertangani secara maksimal oleh Kejaksaan. Padahal, secara kuantitas jumlah kasus korupsi di daerah terus bertambah karena langsung bersentuhan dengan berbagai kepentingan masyarakat.
"Banyak penanganan kasus yang telah menyatakan tersangka, namun tidak ada tindak lanjutnya. Bahkan, banyak kasus yang bahkan di-SP3 (dihentikan) secara sepihak oleh kejaksaan," kata dia.
Ia memperkirakan, dengan munculnya regulasi baru mengenai pilkada melalui DPRD, justru turut menambah potensi korupsi di daerah. Menurut dia, mekanisme pilkada melalui DPRD justru membuat korupsi menjadi lebih terlembaga.
"Lebih terlembaga karena praktiknya (korupsi) berpotensi bisa dilakukan berjamaah antara DPRD dan kepala daerah," kata dia.
Melalui fungsi yang dimiliki KPK pula, menurut Oce, lembaga pemberantasan korupsi itu dapat mengambil alih penanganan kasus korupsi yang tidak serius ditangani Kejaksaan di daerah. "Kalau tidak serius ditangani ya bisa diambil alih KPK," kata dia.
Meski demikian, Oce tidak mendukung wacana pembentukan KPK di daerah sebagai kepanjangan tangan KPK di pusat. Ia menilai, tanpa kesiapan yang matang inisiatif tersebut justru dapat memunculkan persoalan baru.
"Selain persoalan biaya yang tinggi, bisa jadi justru akan tumpang tindih dengan wewenang Kejaksaan dan Kepolisian di daerah, dan kalau SDM-nya tidak siap justru memunculkan persoalan baru," kata Oce.