REPUBLIKA.CO.ID,DEPOK--Penetapan status tersangka seniman Sitok Srengenge disambut gembira oleh civitas Universitas Indonesia setelah kasus yang menimpa mahasiswi FIB UI itu nyaris diberhentikan penyidikannya oleh kepolisian.
"Ternyata untuk kasus kekerasan seksual memang perlu dukungan institusi. Dengan diskusi yang kita lakukan beberapa waktu lalu membuahkan hasil berupa perubahan mindset penyidik," kata Ketua Tim Kuasa Hukum RW dari Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI Tien Handayani, Senin (6/10).
Pemikiran penyidik yang selama ini berpatokan pada pidana konvensional kini berubah pada pola baru. Penyidik berpatokan pada pola pidana konvensional maka pelaku kekerasan seksual bisa bebas.
Dalam pidana konvensional maka harus dipenuhi bukti dan minimal dua orang saksi. Jika tidak terpenuhi unsur tersebut maka pelaku bisa dibebaskan dari tuduhan.
"Ini kekerasan kejahatan seksual. Kalau berpikir pada pidana konvensional, maka pelaku selalu lepas," jelasnya.
Perubahan positif pada pola pikir penyidik dalam kasus RW, menurutnya, adalah pemikiran Dekan FHUI Topo Santoso. Ia menuturkan bahwa dari sisi hukum pidana ada teori otonomi yang bisa mempidanakan pelaku.
Penyidik hingga hakim dalam memproses dan memutuskan tidak harus dengan menikahi (pelaku dan korban). Tetapi, pelaku bisa dijerat pidana.
"Ini merupakan terobosan hukum. Pelaku kejahatan seksual harus bisa kena hukuman," tegasnya.
Dengan begitu, sambung Tien, bisa dijadikan pelaku kejahatan seksual agar berfikir panjang sebelum bertindak. Diakui dia, terdapat pandangan bahwa untuk kasus seperti ini tidak dapat diperiksa. Bahwa kasus kekerasan seksual seperti ini tidak dilakukan berdasarkan tindakan suka sama suka dan bisa dipidanakan.
"Karena ini kekerasan, kejahatan seksual," ujar Tien.