REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerja sama pemerintah dan swasta (public private partnership/ PPP) dalam proyek pembangunan infrastruktur di dalam negeri, masih dihadapkan sejumlah tantangan. Salah satunya adalah ego sektoral di tataran pemerintah, baik di pusat maupun daerah.
"Pemerintah ini agak kurang suka kalau kerja sama dengan swasta. Pemerintah itu inginnya semuanya dikuasai sendiri. Dan begitu bicara dengan swasta itu seolah-olah jadi kemudian 'kepemilikannya' harus dibagi dengan swasta. Ini sifat mental pemerintah yang perlu kita perbaiki," ujar Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto dalam keterangan pers seusai acara high level round table discussion mengenai peran Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (7/10).
Padahal, menurut Kuntoro, PPP merupakan salah satu mekanisme kunci dalam pembangunan dan penyediaan infrastruktur. Infrastruktur dalam konteks ini meliputi jalan, jalan tol, air minum, pelabuhan hingga kilang minyak.
Berdasarkan perhitungan pemerintah, kebutuhan anggaran pembangunan infrastruktur 2014-2019 mencapai Rp 6.000 triliun untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di kisaran 6-7 persen per tahun.
Sebanyak 50 persen di antaranya atawa sekitar Rp 3.000 triliun diproyeksikan bersumber dari PPP. Sedangkan sisanya, berasal dari ragam pembiayaan semisal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga pinjaman dari negara maupun lembaga donor.
Kuntoro menjelaskan, dalam pelaksanaan proyek KPS, diperlukan kepastian dari berbagai aspek. "Paling penting pengadaan tanah," ujar Kuntoro.
Salah satu proyek PPP yang masih terkatung-katung lantaran permasalahan tanah adalah proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah. Kemudian, hubungan antara pihak swasta dan pemerintah harus diperjelas.
"Kalau dia masih harus berhubungan dengan banyak lembaga, sakit kepala juga," kata Kuntoro.
Kuntoro mengambil contoh proyek air minum Umbulan, Jawa Timur, yang melibatkan banyak pemerintah kabupaten sekitar membuat proyek terkendala.
Pembentukan KPPIP sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2014, lanjut Kuntoro, merupakan salah satu cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Perwakilan dari The Boston Consulting Group, Edwin Utama menjelaskan proyek PPP di sejumlah negara di dunia, tidak selalu sukses.
Kegagalan juga menjadi fakta yang tidak terbantahkan semisal di Inggris. Keberhasilan PPP, menurut Edwin, membutuhkan mekanisme apik agar pihak swasta tertarik untuk bergabung dan mengerjakan proyek.
"Oleh karena itu, proyek yang ditawarkan harus feasible. Untuk membuat proyek itu feasible, perlu ada turun tangan dari pemerintah," kata Edwin.
Yang selama ini terjadi, proyek tidak feasible, dijual kepada swasta tanpa bantuan pemerintah, proyek tidak berjalan dengan baik. Selain itu, proyek itu sudah dibantu pemerintah, akan tetapi belum jelas mekanisme bantuan yang diberikan, apakah dalam bentuk garansi maupun VGF (Viability Gap Fund).