Oleh: Aji Setiawan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut fitrahnya, manusia mempunyai sifat malu, tetapi tergerus akibat godaan syaitan, seperti peristiwa merujuk kepada peristiwa Adam dan Hawa yang diceritakan dalam Alquran saat mereka masih tinggal di surga.
Allah SWT berfirman, “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya sudah merasai buah itu,tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun. Kemudian, Tuhan mereka menyeru mereka, ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu, ‘Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (QS Al-‘Araaf [7]:22).
Aspek iman tidak boleh dipisahkan dengan sifat malu karena malu itu merupakan cabang iman. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sifat malu adalah satu cabang daripada cabang iman.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Pada kesempatan lain, Rasulullah bersabda, “Malu itu sebagian dari iman. Dan iman tempatnya di surga, sedangkan ucapan keji termasuk sebagian tabiat kasar dan tabiat kasar itu tempatnya di neraka”. (Hadis riwayat al-Tirmizi).
Malu termasuk sifat mulia. Sifat ini perlu diwujudkan dalam setiap individu Muslim. Adanya malu akan mencegah seseorang melakukan kemungkaran dan perbuatan keji yang dilarang agama. Oleh sebab itu, perasaan malu akan menjadi pakaian iman bagi seseorang Muslim.
Dalam diri orang yang beriman akan muncul perasaan malu untuk melakukan dosa. Namun, jika keimanan nipis dan dikuasai nafsu serta godaan syaitan, ia tidak akan malu melanggar perintah Allah. Malah tanpa rasa malu itu ada yang sanggup bermegah mencanangkan perbuatan kejinya.
Allah SWT berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang yangberiman, hendaklah mereka senantiasa merendahkan pandangan dan memelihara kehormatan mereka.” (QS an-Nuur [24] ayat 30).
Malu bukan saja boleh mengawal perlakuan, melainkan juga emosi dan tingkah laku. Seseorang yang malu mengeluarkan kata-kata kasar apabila marah merupakan hasil kemampuan diri mengawal perasaannya.
Jika dilihat konteks malu dalam Islam dan kaitannya dengan masyarakat Islam, banyaknya kemungkaran saat ini karena berkurangnya sifat malu. Sekaligus memperlihatkan kerapuhan iman dalam kalangan generasi muda.
Kebebasan tidak pernah dihalangi, tetapi perlu melihat pada batasan. Ini karena kebebasan mutlak akan menghancurkan fitrah malu yang ada dalam diri hingga perbuatan dan tindakan yang sepatutnya memalukan sudah tidak lagi dianggap sebagai memalukan.
Oleh karena itu, malu sebagai benteng kepada kekukuhan iman perlu ditanam dalam diri anak kecil, remaja, dewasa, hingga orang tua supaya hanya contoh terbaik dapat dilihat serta diamalkan dalam kehidupan. Biarlah jadi pemalu daripada dikatakan tidak tahu malu.
Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri RA ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu,berbuatlah sesukamu.”