REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Izin pertambangan di Indonesia perlu diperketat menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
"Hal itu perlu dilakukan, karena perizinan pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah di Indonesia ditengarai mengancam pembangunan lingkungan berkelanjutan," kata Rektor Universitas Gadjah Mada Pratikno di Yogyakarta, Senin (13/10).
Di sela pertemuan Forum Pemimpin Lokal Asia Tenggara, ia mengatakan hal itu disebabkan tata kelola industri ekstraktif seperti pertambangan, migas, kehutanan, dan perikanan di kawasan Asia Tenggara dinilai belum baik.
Menurut dia, dalam daftar Resource Governance Index yang dirilis tahun 2013, Indonesia berada pada peringkat 14 dari 58 negara yang disurvei untuk urusan tata kelola sumber daya alam.
"Bahkan posisi Indonesia masih di bawah Timor Leste yang menempati peringkat 13. Vietnam dan Filipina masuk peringkat 43 dan 23," katanya.
Ia mengatakan beberapa daerah di Indonesia diketahui memiliki sumber daya alam berlimpah, tetapi karena praktik sistem tata kelola pemerintahan yang buruk, menjadikan warga sekitar yang seharusnya mendapatkan limpahan dari "keberkahan" itu tidak mendapatkan dampak ekonomi, bahkan terjadi ketidakadilan ekonomi dan konflik sosial.
"Dampak yang sering timbul dari kegiatan pertambangan umumnya adalah marjinalisasi masyarakat adat, konflik horisontal, dan kerusakan lingkungan. Masyarakat lokal yang paling banyak merasakan dampak tersebut," katanya.
Menurut dia, daerah yang memiliki sumber daya alam semestinya mampu mendorong tumbuhnya industri ekstraktif. Selain mampu mengundang investor dan terkumpulnya perputaran uang dalam jumlah besar serta memberi peluang bagi masuknya teknologi maju.
"Sungguh disayangkan, manfaat dari industri ekstraktif itu hanya dirasakan oleh segelintir elit politik dan elit ekonomi lokal. Demokrasi ekonomi menjadi tidak jalan, keuntungan yang didapat seharusnya bisa memberdayakan mayarakat," katanya.
Ia mengatakan pembangunan ekonomi dari kegiatan ekstraktif seharusnya banyak melibatkan partisipasi masyarakar sekitar. Masyarakat sipil dan akademisi perlu mengawasi dampak sosial dan lingkungan yang kemungkinan bisa muncul di kemudian hari.
"Pada satu sisi mendorong pembangunan ekonomi, di sisi lain juga perlu mengerem masalah lingkungan. Semuanya butuh inovasi dan kreativitas," katanya.