REPUBLIKA.CO.ID,BANDAR LAMPUNG--Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Provinsi Lampung mengeluarkan Maklumat Kebangsaan Ulama Provinsi Lampung yang mengajak segenap politisi dan pemimpin bangsa untuk kembali kepada politik kebangsaan.
Dalam maklumat yang berisi enam pemikiran dan empat seruan itu, para ulama mengajak para politisi dan pemimpin bangsa untuk mengutamakan politik yang dilandasi moralitas dan integritas.
Enam pemikiran ini terlahir dari hasil sarasehan yang mengundang Mustasyar (Penasihat) PW NU Lampung Prof Dr M Mukri MAg dan Rais Syuriah PB NU KH Hasyim Muzadi.
Berikut isinya:
Warga Nahdlatul Ulama patut bersyukur bahwa mereka tetap dalam lindungan Alllah SWT dan tetap menjadi garda terdepan dalam mengisi pembangunan dan keunggulan akhlak berbangsa dan bernegara.
Kedua, dalam kondisi tersebut, rakyat Indonesia masih menyaksikan beberapa kelemahan dalam pengembangan orientasi dan visi untuk mencapai negara besar yang dibangun atas tatanan kenegaraan yang beradab, menjunjung tinggi moralitas dan integritas.
Ketiga, penataan di bidang hukum, di bidang ekonomi dan di bidang moral pemerintahan menjadi penting untuk meminimalkan penyalahgunaan wewenang, tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme yang terasakan masih tinggi di semua lapisan baik di pusat maupun daerah.
Keempat, pemimpin yang diidamkan rakyat adalah mereka yang memiliki jiwa kerakyatan, bukan yang ingin cepat berkuasa, ingin populer, dan kaya dengan cara menerabas berbagai kepatutan.
Kelima, kepemimpinan dalam tatanan kenegaraan yang baik adalah prioritas dan merupakan arus utama, bukan sebaliknya, pemimpin yang tanpa memperhatikan apa keinginan rakyat yang sesungguhnya dan bagaimana mengimplementasikan cita-cita para pendiri negara yang luhur.
Keenam, politik kebangsaan adalah medan juang untuk membangun karakter dan nilai bangsa mencapai kesadaran hidup berkeadaban di ranah publik.
Rakyat harus senantiasa dibimbing untuk menjauhi dosa komunal sebagai bangsa, yakni politik tanpa moralitas, demokrasi yang tidak menyejahterakan rakyat, kekayaan yang diraih dengan merusak alam, bisnis defisit etika, dan dosa-dosa lainnya.