REPUBLIKA.CO.ID, BANGUI -- Pemerintah transisi Republik Afrika Tengah Selasa mengatakan bahwa beberapa hari kekerasan pekan lalu, yang paling serius dalam beberapa bulan di mana sekitar selusin orang tewas, merupakan bagian dari plot untuk menggulingkan pemerintahan.
Tanpa mengidentifikasi siapa pun, kata pemerintah dalam satu pernyataan, "koalisi kekuatan negatif" mendistribusikan uang untuk satu faksi penduduk dan mendesak mereka untuk mengatur barikade di ibu kota guna mengacaukan negara.
"Senjata-senjata berat dan ringan juga dibagikan di antara penduduk, terutama kepada generasi muda bagi mereka untuk menabur teror dan menuntut pengunduran diri presiden transisi serta Perdana Menteri," kata pernyataan yang ditandatangani oleh juru bicara pemerintah, Antoinette Montaigne.
Tiga hari bentrokan sebagian besar milisi, yang dikenal sebagai anti-Balaka, terhadap Muslim bersenjata, memaksa hingga 6.500 orang mengungsi dari rumah mereka, menurut PBB.
Kekerasan ini adalah ujian besar pertama bagi negara yang baru saja PBB mengerahkan misi penjaga perdamaian, dan terjadi di tengah meningkatnya ketegangan politik saat pemimpin anti-Balaka dan pemberontak Seleka, sebagian besar Muslim, menyerukan Presiden Sementara Catherine Samba-Panza untuk mundur.
Republik Afrika Tengah, yang miskin meskipun kaya dengan cadangan emas, uranium dan berlian, telah jatuh ke dalam kekacauan ketika Seleka merebut kekuasaan Maret 2013.
Pemerintahan mereka ditandai dengan pelanggaran yang mendorong serangan balasan dari milisi yang sebagian besar Kristen dan animisme yang dikenal sebagai "anti-Balaka".
Prancis mengirim pasukan ke bekas koloninya itu dan juga pasukan penjaga perdamaian Afrika, yang ada telah ditingkatkan dan berubah menjadi misi penjaga perdamaian PBB.
Pemimpin Seleka dipaksa untuk mengundurkan diri pada Januari dan pemerintah transisi mengambil alih pimpinan oleh Samba-Panza.
Namun demikian kekerasan antar komunal sporadis terus berlanjut meskipun telah ada kehadiran ribuan tentara penjaga perdamaian.