Rabu 15 Oct 2014 18:41 WIB

Ini Tujuh Skenario Konsolidasi Bank Konvensional dan Syariah

Rep: Satya Festiani/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja (kiri) dan Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono (kedua dari kiri).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja (kiri) dan Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono (kedua dari kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia diminta menyiapkan setidaknya tujuh skenario besar terkait konsolidasi perbankan nasional. Konsolidasi bertujuan agar perbankan nasional mampu bersaing di pasar regional maupun global.

Ketua Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramonono mengatakan, tujuh langkah strategis konsolidasi perbankan nasional tersebut, yang pertama, adalah pendirian Bank Pembangunan Indonesia (BPI). Modal awal pendirian BPI kurang lebih sebesar Rp 100 triliun. Menurutnya, dananya bisa diambil dari penghematan subsidi. "Kalau kita tak punya bank jangka panjang maka infrastruktur akan terlantar. Cina sudah melakukan itu 30 tahun lalu," ujar Sigit, Selasa (15/10).

Skenario kedua adalah penyiapan rencana megamerger bank pembangunan daerah (BPD) milik pemerintah provinsi di seluruh Indonesia dengan BPI. Skenario ketiga, penyiapan rencana megamerger Bank Mandiri dengan Bank BNI menjadi Bank BNI Mandiri.

Keempat, Bank BRI dikembalikan ke khittahnya sebagai bank rakyat. Kelima, penguatan permodalan dan tata kelola bank-bank komersial swasta nasional, bank komersial menengah dan bank khusus kecil.

Sedangkan langkah keenam, yakni penggabungan bank-bank syariah milik bank-bank BUMN menjadi Bank Syariah Indonesia. Lalu yang terakhir, ketujuh, pembentukan perusahaan induk (super holding) keuangan yang membawahkan bank-bank BUMN.

Menurut Sigit, ketujuh skenario besar tersebut merupakan bagian dari strategi penataan lansekap perbankan nasional. Guna mewujudkan cita-cita Indonesia dalam memiliki bank besar yang mampu bersaing di wilayah perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) hingga global.

Lansekap itu dirumuskan dalam suatu cetak biru perbankan nasional Indonesia. Langkah ini makin mendesak dan relevan menyongsong diterapkannya integrasi pasar Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang mulai Desember 2015 dan khusus untuk perbankan MEA ditrerapkan pada 2019.

Bank-bank milik negara (BUMN) diharapkan dapat menjadi pelopor pertama terkait aksi merger antar bank. Dengan kondisi ini, maka bank-bank swasta dapat meniru bank BUMN untuk melakukan merger guna memperkuat kecukupan modal dan aset perbankan nasional. "Harus dimulai dari bank BUMN, bank BUMN aja tidak mudah untuk melakukan ini, makanya bank BUMN harus menjadi pelopor utama, dan memikirkan bagaimana wujudkan bank yang jadi andalan dan tulang punggung di negeri kita ini," ujar Sigit.

Ekonom Raden Pardede mengatakan, pendirian bank infrastruktur sangat diperlukan. Pemerintah harus mencari modal untuk pendirian bank tersebut. "Pemerintah harus hemat, kalau mau butuh bank infrastruktu, bisa ada fund yang diambil dari Sumber Daya Alam (SDA). Yang didedikasikan sebagian SDA dari alam sekitar 2-4 persen itu masuk ke bank," ujarnya. Menurutnya, untuk pembangunan bank tersebut memerlukan UU atau Perpres.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement