REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla didesak untuk bisa mengembalikan kedaulatan pangan. Peneliti dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, mengatakan selama ini kebutuhan pangan Indonesia masih sangat tergantung dari produk impor.
''Derasnya impor ini berakibat terhadap peningkatan angka kemiskinan petani di pedesaan. Dalam kurun tiga tahun terakhir nilai impor pangan telah mencapai lebih dari 19,2 miliar dolar AS,'' katanya di Jakarta, Jumat (17/10).
Menurutnya, situasi tersebut diakibatkan massifnya agenda pasar bebas ASEAN yang melakukan pembukaan akses pasar dan investasi asing. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dinilai telah membuka akses pasar pangan secara lebar yang berdampak terhadap menurunnya daya saing petani dan nelayan.
"Selain itu, liberalisasi pangan ASEAN mendorong industrialisasi pangan oleh korporasi sehingga semakin memarginalkan petani dan nelayan sebagai produsen pangan nasional,'' katanya.
Menurutnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan terjadi penurunan jumlah tenaga kerja sektor pertanian sebesar 1,53 juta orang terhitung sejak Februari 2012-Februari 2014. Angka kemiskinan di pedesaan juga masih cukup tinggi yang mencapai 14,7 persen pada awal 2014.
Martin dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menambahkan dengan pembukaan pasar akibat MEA 2015, Indonesia semakin merugi. Sebab, pencurian ikan yang secara aktif dilakukan oleh 4 negara ASEAN, yaitu Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina. ''Selain itu pembukaan akses pekerjaan ABK asing yang secara nyata merampas lapangan pekerjaan warga negara Indonesia sebagai salah satu modus pencurian ikan.''