REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) akan dilantik menjadi presiden dan wapres pada 20 Oktober mendatang. Namun, hingga kini belum terlihat siapa orang yang akan menjadi pembantunya di kabinet.
Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari menjelaskan, hal itu karena metode seleksi menteri Jokowi berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Metode seleksi SBY bersifat relatif terbuka, yakni dengan mengundang nama-nama calon menteri untuk audisi di Cikeas.
"Sementara metode Jokowi bersifat tertutup karena masyarakat tidak tahu siapa saja calon yang diseleksi oleh Jokowi," katanya, Jumat (17/10).
Metode SBY, katanya, memiliki kelebihan. Yakni masyarakat dan media mengetahui jelas sosok yang jadi calon menteri.
Sehingga bisa memberikan masukan dan penilaian mengenai kelebihan dan kekurangan calon. Kelemahannya adalah bila tidak jadi terpilih, calon merasa malu karena gagal. Kelemahan lain adalah unsur sensasi atau yang besar.
Sementara, lanjut dia, metode Jokowi memiliki kelebihan karena calon yang gagal tidak merasa dipermalukan bila batal jadi menteri. Juga unsur sensasinya tidak besar.
"Namun metode ini memiliki kelemahan karena tidak bisa menarik masukan dan penilaian yang maksimal dari masyarakat dan media," papar Qodari.
Karenanya, kata dia, Indo Barometer pun merilis daftar nama calon menteri yang dianggap punya potensi dan peluang besar untuk masuk kabinet. Tujuannya, Untuk mengantisipasi kelemahan metode seleksi Jokowi.
Sehingga, masyarakat dan media dapat memberikan masukan. Jangan sampai ada calon menteri yang telanjur masuk kabinet tapi ternyata punya masalah besar.
Nama-nama ini dikumpulkan dari hasil telusuran media massa, info dari kelompok masyarakat, dan narasumber yang dianggap kredibel dan relevan.
"Namun perubahan dan pergeseran nama-nama calon menteri dan nomenklatur kementerian masih bisa terjadi karena dinamika politik seperti yang sudah dinyatakan oleh Jokowi sendiri," paparnya.