Kamis 23 Oct 2014 01:40 WIB

Dua Kebijakan Jokowi Dinanti Pelaku Pasar

Jokowi dan Jusuf Kalla di Rumah Transisi, Jakarta Pusat, Ahad (28/9) malam WIB.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Jokowi dan Jusuf Kalla di Rumah Transisi, Jakarta Pusat, Ahad (28/9) malam WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku pasar diperkirakan menantikan dua kebijakan Presiden Joko Widodo dalam waktu dekat, yakni menaikkan harga BBM bersubsidi untuk memperbaiki ruang fiskal, dan mengkaji ulang regulasi larangan ekspor mineral mentah agar menurunkan defisit neraca transaksi berjalan.

Jika harga BBM dinaikkan, diperkirakan Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin, menjadi delapan persen, dari 7,5 persen saat ini, untuk meredam inflasi, kata Ekonom senior Bank Standard Chartered Fauzi Ichsan di Jakarta, Rabu (23/10).

"Penghematan dari naikkan BBM itu bisa dialokasikan ke belanja infrastruktur yang sangat dinanti investor," ujar dia.

Sedangkan, pengkajian ulang larangan ekspor konsentrat, ujar Fauzi, karena sepanjang 2014, larangan itu telah membuat defisit neraca transaksi berjalan semakin melebar. Pada kuartal II, defisit transaksi berjalan mencapai 4,27 persen dari Produk Domestik Bruto.

Menurut dia, setelah larangan ekspor bahan mentah itu diberlakukan pada awal 2014, telah terjadi penurunan ekspor enam miliar dollar AS. Jika kebijakan itu "dilunakkan", kata Fauzi, ditambah pengurangan subsidi energi, defisit neraca transaksi berjalan yang, menurut dia, sebesar 25 miliar dollar AS pada tahun ini dapat turun menjadi 15 miliar dollar AS, pada semester II 2015.

"Itu memang pil pahit, tapi memang dampaknya akan mulai terasa pada semester II 2015," ujarnya.

Mengenai sisi fiskal, Fauzi meyakini, jika Jokowi menaikkan harga BBM dengan rentang Rp 3000, penghematan anggarannya dapat dialokasikan ke belanja modal untuk sektor produktif di 2015.

Fauzi menjelaskan, kebijakan soal subsidi BBM dan larangan ekspor, --yang akan diantisipasi dengan kebijakan suku bunga--, sangat penting untuk memelihara kepercayaan pasar, terutama menghadapi normalisasi ekonomi Amerika Serikat.

Kebijakan normalisasi sudah dimulai dengan penghentian stimulus yang digelontorkan AS. Selanjutnya, pada kuartal II 2015, Bank Sentral AS, The Fed, diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan, dari 0,25 persen hingga 1 persen, sehingga ada potensi pembalikkan arus modal dari Indonesia.

Dua kebijakan Jokowi yang diharapkan pasar itu, diharapkan dapat memelihara kepercayaan investor, sehingga pembalikkan modal tidak terlalu besar. Selain itu, dampaknya adalah stabilitas ekonomi yang kuat karena secara fundamental, ekonomi Indonesia semakin baik dengan perbaikan ruang fiskal dan neraca transaksi berjalan,

Fauzi memperkirakan, dengan kenaikan BBM, dan pengetatan likuiditas oleh BI, pertumbuhan ekonomi memang akan melambat pada semester I 2015, atau hanya mencapai lima persen. Namun, dampak positif kebijakan Jokowi tersebut akan terasa di semester II 2015. "Pertumbuhan ekonomi akan mulai ekspansif di semester II," ujarnya.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement