REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo telah melibatkan KPK dan PPATK dalam memilih menterinya untuk memastikan mereka bersih dari keterlibatan kasus korupsi. Tetapi, langkah ini dinilai justru tidak adil karena hanya menyasar pejabat publik terkait kasus korupsi.
"Kalau hanya KPK dan PPATK itu namanya tidak adil, bagaimana dengan calon menteri berlatar belakang pengusaha yang tidak membayar karyawannya sesuai UMR (Upah Minimum Regional) misalnya, atau kasus hukum lain. Kenapa tidak meminta pertimbangan lembaga lain," kata pengamat hukum dari UII Yogyakarta Muzakir saat dihubungi, Jumat (24/10).
Dia mengatakan, tujuan Presiden Jokowi untuk meminta pertimbangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak jelas. Sebab, hal itu tidak substantif. Kalau memang pembantu Jokowi nantinya terlibat kasus korupsi, kata dia, adalah tugas KPK untuk mengusut kasus hukumnya.
Justru yang paling penting, menurut Muzakir, adalah membersihkan kabinet Jokowi dari orang-orang yang mengganggu dan membahayakan negara. Hal itu dinilai lebih mendesak dari sekedar meminta pertimbangan KPK dan PPATK. "Yang diminta pertama itu harusnya yang membahayakan negara atau tidak, dan itu masuknya ke BIN (Badan Intelejen Negara)," ujarnya.
Dia juga menyayangkan publikasi kepada media yang dilakukan terkait permintaan rekomendasi rekam jejak calon menteri ke KPK. Sebab, permintaan rekomendasi itu seharusnya tidak perlu disampaikan ke media karena bersifat rahasia. Muzakir menilai, baik Jokowi maupun KPK, dalam hal ini sama-sama melakukan kesalahan.
Menurutnya, permintaan itu sah-sah saja dilakukan oleh Jokowi. KPK juga boleh saja memberikan rekomendasi rekam jejak yang dibutuhkan Presiden terkait calon menterinya. Tetapi, kata dia, ketika itu disampaikan ke media, publik menjadi berspekulasi tentang orang-orang yang disebut dalam tanda merah, kuning ataupun yang lain.