REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG --Kerusakan hutan di kawasan hulu sungai Citarum semakin memprihatinkan.
Kawasan hutan dan perkebunan yang dikelola oleh perhutani dan PT Perkebunan Nusantara tersebut, dirambah oleh masyarakat setempat yang menjadikan wilayah penyangga hulu sungai Citarum menjadi gundul.
Namun, perambah -perambah tersebut sulit ditertibkan oleh pemerintah maupun pihak PTPN dan Perhutani selaku pemilik lahan. ''Action di lapangan pemegang hak PTPN dan Perhutani kan tak berdaya dengan perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat,'' kata kepala dinas pertanian dan perkebunan kabupaten Bandung, Tisna Umaran, di Soreang, Bandung, Ahad (26/10).
Kerusakan paling parah terjadi di kecamatan Kertasari, Pangalengan, Cilengkrang dan Cimenyan, Dengan total kerusakan hingga 900 Ha. Karena pada dasarnya hak guna usaha perkebuan tidak boleh digunakan untuk komoditas selain yang tertera didalam HGU itu, kalaupun ada perubahan harus lapor.
Apalagi, lanjut Tisna, batas kemiringan untuk tanaman sayuran maksimal 15 derajat. Kalaupun bisa, harus menggunakan teknik atau sistem khusus. Sehingga tidak merusak struktur tanah. Sementara, yang terjadi di wilayah hulu Citarum, hingga kemiringan 60 derajat masih digunakan untuk menanam sayuran. ''Kondisinya sudah sangat darurat atau rawan bencana, akibat sudah dirambah masyarakat,'' ungkapnya.
Kesulitan penegakan hukum bagi perambah hutan dikawasan tersebut adalah karena jumlah mereka banyak. Selain itu juga mayoritas perambah adalah warga setempat. Sehingga Tisna mengatakan bahwa tidak mungkin kalau mereka diberikan sanksi tegas. ''Kalau mau tegas -tegasan silakan tegakkan hukum, tangkap -tangkapin, tapi kan enggak mungkin, susah karena jumlah mereka ratusan. Selain itu kalau mau kontra kan itu masyarakat kita juga,'' jelasnya.
Karena itu, kata Tisna, pihaknya bersama muspida mendorong diadakannya identifikasi dan revitalisasi fungsi hutan. Karena ada tanah perhutani yang diserobot warga. Namun Tisna menyesalkan tidak adanya sikap komplain yang dilakukan oleh PTPN, padahal lahannya disalahgunakan petani. ''Perlunya dibuat MoU antara warga dengan pihak perhutani dan PTPN, kalau perlu dilegalkan agar jelas hak dan kewajiban masyarakat. Agar dikembalikan lagi fungsinya,'' ujarnya.
Karena idealnya, tutur Tisna, petani diberikan toleransi untuk menanam sayuran, namun kebunnya juga harus ditanam. Keseriusan untuk mengembalikan fungsi lahan juga diperlukan. Kalau tidak serius lahan tersebut harus dikembalikan kepada negara dan dibagikan kepada masyarakat.''Kalau masih komitmen untuk menggunakan HGUnya untuk komoditas yang menguntungkan, harus ada progresnya. Tanamannya apa, pertahunnya berapa serta melibatkan masyarakat,'' paparnya.