Rabu 29 Oct 2014 17:24 WIB

KH Isa Anshary, Pejuang Islam Penentang Sekularisme (3-habis)

KH Isa Anshary.
Foto: Ruangjuang.files./ca
KH Isa Anshary.

Oleh: Amri Amrullah

Menentang Soekarno

Januari 1953, pidato Soekarno di Kalimantan Selatan menuai polemik. Tokoh proklamator itu menegaskan, berdirinya negara Islam akan memicu perpecahan NKRI.

Mendengar pidato itu, Kiai Isa tidak terima. Ia menilai isi pembicaraan presiden pertama RI itu tidak demokratis serta inkonstitusional.

Ia memberi contoh negara Islam yang dibangun Rasulullah SAW di Madinah justru membuat kehidupan masyarakat lebih baik, aman, serta melindungi dan menjamin hak-hak kehidupan non-Muslim.

Kiai Isa mengatakan, berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok separatis Islam adalah kesalahan dari pemerintah sekuler itu sendiri yang tidak menjadikan Islam sebagai filsafat negara.

Sikap dan pendirian Kiai Isa yang teguh terlihat pula saat berpidato di Semarang. Pada masa itu, suhu perpolitikan nasional tengah memanas buntut dari merajalelanya Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ia dengan lantang berpidato menentang komunis di alun-alun Kota Semarang yang saat itu menjadi basis komunis. Di depan ribuan pengunjung, pidatonya yang keras menjadi sorotan hampir semua media dan masyarakat karena aksi-aksinya menolak ideologi tak bertuhan ini.

Strateginya dalam menyibak rahasia perlawanan kaum komunis banyak menginspirasi masyarakat yang membuat para petinggi Masyumi terperangah.

Mereka tak menyangka orasi sang Singa Podium ini membuat masyarakat bangkit. Ini ditandai dengan munculnya gerakan yang menentang koalisi PNI-PKI menjelang Pemilu 1955. Di tengah koalisi PNI-PKI yang berusaha menjegal Masyumi, dengan cepatnya ia mengajak masyarakat membentuk Front Anti Komunis.

Menurut dia, komunisme adalah musuh paling berbahaya di Tanah Air karena mereka menganggap agama hanyalah candu yang mengekang manusia. Paham ini tidak boleh hidup di atas bumi pertiwi nusantara. Alhasil, perlawanan anti-PKI ini yang semakin tumbuh subur, kemudian menyebar ke seluruh nusantara.

Perjuangannya tak pernah berhenti meski menjelang ajal. Meski dalam kondisi sakit, Kiai Isa tetap memberikan khotbah Idul Fitri. Satu hari pasca-Idul Fitri, tepatnya 11 Desember 1969, akhirnya sang mujadid dan mujahid penegak syariah Islam di Tanah Air ini wafat, meninggalkan sejuta semangat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement