REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung (Dirdik Kejagung) Chairul Imam menganggap bahwa jaksa agung adalah jabatan yang teknis. Seorang jaksa, menurutnya harus berasal dari internal kejaksaan yang mengetahui anatomi kejaksaan dan penegakan hukum.
"Harus mengerti anatomi penegakan dan seluk beluk penegakkan hukum mulai dari pengumpulan data, penyelidikan, penyidikan, Jaksa Agung harus jadi otaknya," kata Chairul dalam Diskusi 'Polemik Calon Jaksa Agung dari Parpol' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Minggu (2/11).
Seorang Jaksa Agung, lanjutnya, harus tahu dengan kultur Kejaksaan. Jika tidak, ia akan kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Chairul mengatakan, Jaksa Agung merupakan penuntut hukum tertinggi di seluruh dunia. Dalam UU kejaksaan, Jaksa adalah seorang sarjana hukum yang lulus dari pendidikan, pelatihan dan pembentukan jaksa.
"Kalau dilihat dari situ penuntut hukum tertinggi kalau bukan jaksa ya tidak legitimate. Kami pernah dapat Jaksa Agung yang membiarkan belasan Kejati kosong. Ini hendaknya kita hindari lah," tambah Chairul lagi.
Mengenai Jaksa Agung yang berasal dari partai politik (parpol), Chairul mengatakan, juga harus dihindari. Dikhawatirkan akan ada intervensi dalam penanganan kasus, mulai dari intervensi politik, jabatan, uang, hingga wanita.
Begitu juga dengan pensiunan Jaksa Agung yang kemudian terjun ke parpol. Meski mengenal dengan baik Kejaksaan, kata Chairul, kemungkinan adanya intervensi juga masih bisa terjadi. "Kita meminimalisir intervensi dan politisasi perkara," kata Chairul.