REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA–Penangguhan penahanan Muhammad Arsad (24) alias Imen, tersangka kasus penyebaran gambar berbau pornografi Presiden Jokowi dan Ketua Umum PDIP dinilai penuh pertimbangan sosiologis, nukan karena dimaafkan sang presiden.
"Hukum yang diterapkan polisi kan tidak sekadar hukum normatif, tapi bisa pertimbangan sosiologis. Sejak awal harusnya sudah diperhitungkan sebagai suatu analisis tanpa Jokowi perlu ngomong," kata pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, Senin (3/11).
Ia mengatakan, penangguhan penahanan adalah hak kepolisian. Namun, jangan sampai menimbulkan kesan bahwa penangguhan tersebut karena Jokowi yang sudah memaafkan Imen.
Menurutnya, dalam memutuskan suatu hal, polisi tidak sekadar mengimplementasikan hukum normatif. Polisi, lanjutnya, juga bisa menggunakan pertimbangan sosiologis dengan melihat penerapan hukum di orangnya secara langsung.
Seharusnya, lanjut Bambang, sejak awal polisi bisa mengambil keputusan penangguhan dengan pertimbangan bahwa tersangka tidak akan melarikan diri dan menghilangkan alat bukti.
Menurutnya, hal tersebutIah yang harus dibangun oleh kepolisian sehingga tidak dituduh atau muncul dugaan di masyarakat bahwa polisi dipengaruhi karena presiden sudah memaafkan.
"Polisi itu ibarat hukum yang hidup atau law in action bukan hukum yang mati atau law in the book. Jadi polisi akan dinilai masyarakat mandiri jika tidak menunggu presiden memaafkan MA, tapi dengan pertimbangan sendiri menangguhkan penahanan MA," jelasnya.