REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak seperti organisasi keagamaan lain yang menyampaikan pandangan hukumnya terkait Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Ketua Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Suhadi Sendjaja menjawab dengan sudut pandang ajaran Sang Buddha.
Pada sidang kelima yang dipimpin oleh Hamdan Zoelva ini, Suhadi menegaskan tidak akan memberi pandangan hukum terkait Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan. Ia hanya menyampaikan pandangannya terkait perkawinan beda agama berdasarkan ajaran agama Buddha. Menurut keyakinan yang dianut oleh umat Buddha, pernikahan itu perkara jodoh, terlepas dari apapun kepercayaannya.
Suhadi melanjutkan, landasan dari semua hukum Buddha ialah hukum karma. Hukum karma itu sendiri bukanlah sesuatu yang bisa diatur oleh macam-macam peraturan tertulis. "Itu berlaku begitu saja sesuai dengan sebab-akibat itu sendiri," jelas Suhadi, Rabu (5/11).
Terkait kebebasan beragama, Suhadi menegaskan tidak ada upaya tarik-menarik umat beragama lain. Jika terjadi pernikahan beda agama, itu karena ada jodoh atau takdir yang mengatur. "Kalau tidak ada jodohnya, tidak usah tarik-menarik (antar agama)," ujar Suhadi.
Suhadi melanjutkan, jika pernikahan beda agama dilakukan dan diberkati dalam lingkup Buddha, upacaranya tetap dilakukan sesuai tata cara agama Buddha. Tapi, tentu harus ada kemauan juga dari yang bersangkutan, tidak bisa dipaksakan. "Yang mau kawin orangnya kok, bukan agamanya. Itu pribadi," terang Suhadi.