REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polikus PDIP asal Jawa Tengah, Hendrawan Supratikno prihatin dengan matinya kerbau (kebo) bule berjuluk Kiai Bagong karena tusukan seseorang. Menurutnya, aksi itu mencerminkan lunturnya penghormatan masyarakat kepada nilai budaya.
"Artinya (penusukan) masyarakat tidak tahu lagi apa makna simbolik dari kerbau bule," kata Hendrawan saat dihubungi Republika, Rabu (5/11).
Dalam ilmu ekonomi, kata Hendrawan, sesuatu akan dipertahankan apabila memiliki fungsi bagi kehidupan. Begitu juga halnya dalam kebudayaan.
Nilai budaya akan ditinggalkan apabila dianggap tidak lagi memiliki fungsi bagi kehidupan. "Jadi, dalam ilmu ekonomi kalau sesuatu membuat sejahtera itu akan dipertahankan," ujar anggota Tim Budaya Jawa Tengah-Yogyakarta itu.
Saat ini, kata dia, banyak pemuda Jawa yang tidak mengerti Bahasa Kromo Inggil. Mereka justru lebih menguasai bahasa asing.
Karena Bahasa Kromo Inggil dianggap tidak memiliki fungsi ekonomi bagi kesejahteraan hidup. "Kehidupan kita sehari-hari untuk mencari uang lebih penting Bahasa Inggris, Bahasa Prancis," contoh Hendrawan.
Pemerintah, tambahnya, harus membuktikan slogan Revolusi Mental kepada masyarakat. Perlu ada upaya merevitalisasi nilai kearifan lokal agar tetap sejalan dengan fungsi kehidupan.
"Contoh kalau kita rapat ruangan AC, semua pakai jas supaya tidak terkena angin. Supaya fungsional perlu jas bermotif batik," kata Hendrawan.
Kebo Bule Kiai Bagong menghembuskan napas terakhir pada Selasa (4/11) di usia 66 tahun sekitar pukul 19.00 WIB di kadangnya wilayah Solobaru, Desa Gedangan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo.
Kiai Bagong mati setelah leher sisi kanan dan perutnya terluka oleh tusukan senjata tajam sejenis tombak yang diduga mengandung beracun.
Selama ini Kebo Bule dikenal sebagai salah satu pusaka Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tewasnya Kiai Bagong mengurangi jumlah koleksi kebo bule keraton dari 12 ekor menjadi 11 ekor.
Kebo bule biasanya menjadi bagian dari tradisi kirab 1 Sura sejak perpindahan Keraton Kartasura Hadiningrat ke Keraton Surakarta Hadiningrat pada 1745 silam.