Kamis 06 Nov 2014 15:51 WIB

Tiga Model Pemilihan Khalifah Rasyidin (2)

Pada era Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah dipilih lewat musyawarah.
Foto: Islambook.net/ca
Pada era Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah dipilih lewat musyawarah.

Oleh: Harun Husein

* Sebuah riwayat menyatakan Abu Bakar saat itu menyampaikan, “Kalian mengetahui bahwa Rasulullah pernah bersabda, ‘Andai saja manusia menempuh jalan di satu lembah sementara kaum Anshar menempuh satu jalan, maka pasti akan kutempuh jalan kaum Anshar’. Dan engkau telah mengetahui wahai Sa’ad (Sa’ad bin Ubadah) bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda —saat itu engkau sedang duduk- ‘Sesungguhnya kaum Quraisy-lah yang paling berhak menjadi pemimpin. Kebaikan manusia akan mengikuti kebaikan yang ada pada mereka dan kejelekan manusia akan pula mengikuti kejelakan yang ada pada mereka’.

Maka Sa’ad berkata, ‘Engkau benar, kami hanyalah menjadi wazir dan kalianlah yang menjadi Amir’.”

* Riwayat lain menyebutkan saat itu Abu Bakar juga mengatakan dia rela jika urusan khalifah diserahkan kepada satu dari dua orang (Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah). Saat itu, muncul keributan. Untuk mencegah perselisihan, Umar kemudian berkata kepada Abu Bakar, “Berikan tanganmu wahai Abu Bakar.” Maka Abu Bakar memberikan tangannya dan Umar segera membaiatnya, diikuti seluruh kaum Muhajirin, kemudian kaum Anshar.

* Riwayat lain menyatakan Umar berkata kepada yang hadir di Tsaqifah Bani Sa’idah, “Yang paling berhak menggantikan Rasulullah SAW adalah sahabatnya yang menyertainya dalam gua (Gua Hira, saat permulaan Hijra –Red).

Dialah Abu Bakar yang selalu terdepan dan paling diutamakan. Kemudian segera kutarik tangannya dan ternyata ada seorang Anshar (sebuah riwayat menyatakan dia adalah Basyir bin Sa’ad, ayah an-Nukman bin Basyir) yang lebih dahulu menariknya dan membaiatnya sebelum aku sempat meraih tangannya. Setelah itu baru aku membaiatnya dengan tanganku yang kemudian diikuti oleh orang ramai.”

* Kitab Fathur ar-Rabbani menyatakan soal bai’at itu, Abu Bakar mengatakan menerima pembai’atan itu karena takut fitnah akan datang yaitu murtadnya orang-orang Arab setelah wafatnya Nabi.

* Beberapa saat sebelum wafatnya, Umar men jelaskan hal ihwal bai’at kepada Abu Bakar itu di Masjid Nabawi. “Demi Allah, kami tidak pernah menemui perkara yang lebih besar dari perkara bai’at terhadap Abu Bakar. Kami sangat takut jika kami tinggalkan mereka tanpa ada yang dibai’at, maka mereka (Anshar) kembali membuat bai’at.

Jika seperti itu kondisinya kami harus memilih antara mematuhi bai’at mereka padahal kami tidak merelakannya, atau menentang bai’at mereka yang pasti akan menimbulkan kehancuran. Maka, barang siapa membai’at Amir tanpa musyawarah lebih dahulu, bai’atnya dianggap tidak sah. Dan tidak ada bai’at terhadap orang yang mengangkat bai’at terhadapnya, keduanya harus dibunuh.”

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement