REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Larangan bagi Pegawai Negeri Sipil menggelar rapat di hotel mendapat respons dari kalangan industri. Mereka meminta imbauan yang dikeluarkan pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu dikaji ulang.
Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia Wiryanti Sukamdani, mengatakan kebijakan tersebut sangat betentangan dengan tugas utama hotel yakni memberi pelayanan kepada publik, termasuk pegawai negeri sipil.
"Dengan adanya larangan tersebut dipastikan binis perhotelan akan terpuruk dan merugikan karyawan yang bekerja di hotel," ujar Yanti dalam jumpa pers, Jumat (7/11), di Jakarta.
Ia menjelaskan, dalam perkembanganya hotel tidak hanya menjadi tempat menginap, namun juga menjadi lokasi rapat serta bisnis.
"Karena kantor pemerintah atau swasta pun belum ada yang memiliki fasilitas dan daya tampung memadai untuk pertemuan skala tertentu. Dengan menggelar rapat di hotel justru memberi efisiensi. Terlebih jika peserta rapat datang dari daerah," kata dia.
PHRI mencatat, hotel dan restoran saat ini memberi kontribusi pajak sebesar Rp 50 triliun per tahun, nomor dua terbesar setelah migas. Bahkan di beberapa daerah memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat besar, seperti di Bali dan DKI Jakarta.
"Maka dengan kebijakan itu tentu akan berpengaruh pada okupansi dan ruang rapat," ujar Yanti.
PHRI, sebut Yanti, sangat mendukung pemerintah dalam melakukan efisiensi anggaran. Namun perlu diingat hotel merupakan agen pembangunan dalam bidang pelayanan kebutuhan masyarakat.
"Kalau akhirnya hotel harus menelan kerugian akibat kebijakan ini, akan berpengaruh terhadap okupansi hotel dan secara langsung ataupun tidak langsung merugikan ribuan karyawan dan pengusaha hotel itu sendiri," ujar Yanti.