REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sinyal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi semakin jelas usai pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana negara beberapa hari lalu.
Wapres Muhammad Jusuf Kalla (JK) sejak jauh-jauh hari sebelumnya pun sudah menegaskan kenaikan harga BBM pada bulan November 2014 ini.
Berbagai tanggapan pro dan kontra pun bermunculan dari masyarakat. Sebagian dapat menerima, bahkan mendukung, namun tidak sedikit pula yang menolak dan menentang keras kenaikan harga BBM.
Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S. Pane, menyatakan Presiden Jokowi perlu melakukan moratorium dan mengendalikan industri otomotif.
"Jika industri otomotif dapat terkendali dan ada moratorium terhadapnya, maka bangsa Indonesia tidak perlu terus-menerus tersandera dengan membengkaknya subsidi BBM," tutur Neta dalam rilisnya keppada Republika, Ahad (9/11).
Bangsa Indonesia, lanjutnya, juga tidak perlu mengalami kemacetan parah, terutama di berbagai kota besar seperti Jakarta.
IPW menilai selama ini pemerintah sering tidak konsisten. Di satu sisi, pemerintah mengeluhkan membengkaknya subsidi BBM.
Tetapi di sisi lain, pemerintah justru membiarkan industri otomotif 'jor-joran' (gila-gilaan) memproduksi kendaraan bermotor. Akibatnya, kemacetan terjadi dimana-mana.
Dalam kondisi seperti ini, papar Neta, pemerintah selalu mengambil jalan pintas. Misalnya, harga BBM dinaikkan untuk menghindari membengkaknya subsidi.
Padahal jika harga BBM naik, jelasnya, dipastikan angka kriminal akan melonjak. Pasalnya, kesulitan ekonomi masyarakat bawah kian parah. Apalagi, kejahatan kerap menjadi jalan pintas.
"IPW berharap Presiden Jokowi tidak terburu-buru menaikkan harga BBM, tetapi melakukan dua hal," jelasnya.
Pertama, membersihkan mafia migas yang kerap membuat ekonomi biaya tinggi di sektor migas. Kedua, mengendalikan dan melakukan moratorium industri otomotif.
Pasalnya, ungkap Neta, kendaraan bermotor menjadi penyedot terbesar stok BBM. Pada 2013 saja, kendaraan bermotor yang beroperasi di Indonesia mencapai 104 juta 211 ribu kendaraan.
"Jumlah kendaraan pada 2013 naik 11 persen dari sebelumnya, tahun 2012, yang hanya mencapai 94 juta 299 ribu unit," ujar Neta.
Jika industri otomotif mengalami moratorium, paparnya, maka Jokowi tidak terus menerus disandera kenaikan subsidi harga BBM.
Selain itu, kemacetan lalu-lintas bisa terkendali dan angka kriminalitas bisa ditekan. Namun konsekunsinya, Jokowi harus membangun infrastruktur angkutan massal atau publik.
"Saat ini, pertumbuhan jumlah bus jauh di bawah mobil pribadi. Bus hanya naik satu persen per tahun. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya transportasi publik di Indonesia," ungkap Neta.
Jadi, lanjutnya, sebelum menaikan harga BBM, Jokowi harus melihat (mempertimbangkan) berbagai macam hal, sehingga kebijakannya tidak menyulitkan 'wong cilik' (rakat kecil).
"Kebijakan menaikkan harga BBM jangan sampai memicu tingginya kriminalitas di masyarakat," paparnya.
Sebelumnya Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Muhammad Arief Rosyid Hasan, memandang penting perlunya pengawasan DPR RI terhadap kebijakan pemerintah terkaitaiknya harga BBM.
"Salah satu agenda mendesak yang membutuhkan pengawasan DPR RI adalah kenaikan harga BBM," tutur Arief dalam rilisnya lepada Republika, Sabtu (8/11).
Saat ini, lanjutnya, kita harus memahami adanya dikotomi antara kaya dan miskin sudah tidak dapat lagi menjelaskan tentang heterogenitas (perbedaan) tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia.
"Asumsi bahwa subsidi BBM hanya dinikmati oleh orang kaya tampak sangat lemah ketika kita menyaksikan betapa besarnya ketergantungan masyarakat golongan menengah ke bawah terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM)," paparnya.
Meskipun subsidi BBM dari tahun ke-tahun telah menyedo anggaran negara dalam jumlah besar, namun pemerintah harus menghitung secara cermat betapa besar dampak kenaikan harga BBM.
Penerima dampak paling besar jika BBM dinaikkan, lanjutnya, adalah masyarakat bawah (wong cilik) seperti buruh, nelayan dan petani.
"Meraka akan sangat dirugikan atas kenaikan harga BBM bersubsidi ini," tegas Arief.
Penolakan terhadap kenaikan harga BBM juga disuarakan kalangan aktivis mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia.
Direktur Pusat Politik (Puspol) Indonesia, Ubedillah Badrun, menyatakan terdapat tiga faktor yang menyebabkan mahasiswa berdemo menolak kenaikan harga BBM.
"Tiga hari belakangan ini, demonstrasi menolak kenaikan harga bbm terjadi di Makassar dan sejumlah daerah. Jika pemerintah tetap ngotot menaikan harga BBM, kemungkinan besar demonstrasi akan meluas ke daerah lainnya," tutur Ubedillah dalam rilisnya kepada Republika, Jumat (7/9).
Dalam perspektif sosiologi politik, lanjutnya, Jika demonstrasi meluas, masif dan militan, maka akan berdampak pada instabilitas politik dan ekonomi.
Respon pasar juga cenderung negatif terhadap instabilitas politik. Apalagi, paparnya, aparat keamanan kerap kali merespon demonstran secara represif.
"Aksi demonstrasi mahasiswa yang masif, meluas dan militan serta respon aparat yang represif adalah penyumbang instabilitas politik paling utama," jelas pengamat sosial-politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.
Jadi, lanjutnya, cara-cara represif aparat kemanan, seperti menembak dan menangkap mahasiswa, harus diakhiri. Jika tidak, tindakan represif aparat itu akan mendorong makin militannya gerakan mahasiswa.
"Dalam perspektif gerakan sosial (social movement theory), gerakan mahasiswa adalah salah satu gerakan sosial modern yang daya tekannya cukup berpengaruh," paparnya.
Tepatnya, sejak era modern tahun 60-an, bahkan sampai era 90-an hingga saat ini. Fakta tumbangnya rezim Soeharto dan rezim Husni Mubarok tidak bisa menafikan peran gerakan mahasiswa.
Jika gerakan mahasiswa menolak kenaikan harga BBM terus meluas dan militan, pada level tertentu bisa mengancam pemerintahan Jokowi-JK.
"Pemerintahan Jokowi-JK harus berfikir ulang untuk menaikan BBM saat ini," tegasnya.
Dari studi kualitatif yang dilakukan Puspol Indonesia di Makasar, ditemukan ada tiga faktor yang menyebabkan mahasiswa bergerak menolak kenaikan harga BBM.
Pertama, faktor rasionalitas mahasiswa bahwa kenaikan harga BBM sangat tidak masuk akal ditengah menurunya harga minyak dunia hingga dibawah 80 dolar per barel, jauh dibawah asumsi APBN, 105 dolar per barel.
"Rasionalitas mahasiswa juga memprediksi kenaikan harga BBM akan menyumbang inflasi sebesar 1,72 persen. Jadi, kenaikan harga bbm akan berdampak langsung pada kenaikan harga makanan dan tarif angkutan umum sebesar 50 persen," jelas Ubedillah.
Kedua adalah faktor ideologis mahasiswa. Secara ideologis, mahasiswa menilai menaikan harga BBM berarti menarik atau mengurangi subsidi BBM.
"Langkah ini adalah langkah yang bertentangan secara ideologis dengan sistim ekonomi konstitusi Undang-Undang Dasar (YYD) 1945 yang spiritnya justru mewajibkan subsidi bagi kepentingan hajat hidup orang banyak," jelasnya.
Negara, lanjutnya, berkewajiban mensubsidi rakyat banyak pengguna BBM murah, yang jumlahnya mencapai 85 juta jiwa (pengguna motor, angkot, nelayan dan petani).
Ketiga adalah faktor akumulasi kekecewaan mahasiswa terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
Pasalnya, mahasiswa menilah sejumlah mentri kabinet kerja Jokowi-JK terkait erat dengan kelompok mafia migas. Bahkan, ada calon menteri yang disinyalir berlabel warna merah oleh KPK.
Saat kekecewaan itu masih melekat, paparnya, pemerintahan Jokowi-JK justru ingin menaikan harga BBM.
"Akumulasi kekecewaan itu menemukan momentumnya di November ini jika Jokowi-JK menaikan BBM," tegas penulis buku 'Radikalisasi Gerakan Mahasiswa' ini.