Senin 10 Nov 2014 17:29 WIB
Perpecahan di Tubuh PPP

Romy: Penetapan PTUN Bukan Putusan Final

Ketua Umum PPP versi Muktamar VIII di Surabaya, Romahurmuziy (tengah).
Foto: Antara
Ketua Umum PPP versi Muktamar VIII di Surabaya, Romahurmuziy (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PPP versi Muktamar Surabaya, Muhammad Romahurmuziy menegaskan bahwa penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan yang dilayangkan kubu PPP pimpinan Djan Faridz, bukan berarti kepemimpinannya dinyatakan tidak sah.

"Selama dua hari terakhir ini berkembang pemberitaan yang simpang siur soal penetapan PTUN Jakarta tanggal 6 November 2014 soal PPP," ujarnya, Senin (10/11).

Romy mengatakan penetapan PTUN yang ada saat ini bukanlah putusan final. Ia menjelaskan, penetapan PTUN adalah instrumen yang diatur dalam pasal 67 ayat (2) UU 5 Tahun 1986 tentang PTUN yang boleh dijalankan dan boleh tidak dijalankan oleh tergugat, dalam hal ini MenkumHAM.

"Kemudian amar kedua penetapan PTUN bertuliskan "Memerintahkan kepada tergugat", itu sama seperti orang tua yang memerintahan kepada anaknya misalnya menyuruh "tutup pintu", maka jelas pintu belum tertutup sampai anak yang diperintahkan menjalankan perintah itu," jelasnya.

Ia melanjutkan, sepanjang Menkumham belum menerbitkan penundaan, maka artinya DPP PPP hasil Muktamar VIII di Surabaya tetap sah. Selain itu, dalam penetapan PTUN tertulis amar "menunda pelaksanaan SK".

"Jadi, penetapan ini bukan "menunda keberlakuan SK". Pelaksanaan apa yang ditunda? Karena SK MenkumHAM tentang Perubahan Susunan Pengurus tidak lagi membutuhkan pelaksanaan mengingat sifat SK MenkumHAM yang konstitutif, yaitu menimbulkan keadaan hukum baru," jelasnya lagi.

Romy menjelaskan karenanya "menunda pelaksanaan" akan terkait dengan amar ketiga yang berbunyi: "tidak melakukan tindakan pejabat TUN lainnya yang berhubungan dangan objek sengketa".

Amar ketiga ini, menegaskan bahwa SK MenkumHAM tetap berlaku, tapi tak boleh diubah lagi sampai putusan bersifat tetap. "Termasuk penerbitan surat putusan TUN yang baru mengenai hal yang sama", karenanya seluruh hasil "muktamar" di Jakarta juga tidak bisa diproses pendaftarannya," katanya.

Ia menambahkan, penetapan penundaan, pada dasarnya adalah skorsing atau menunda daya berlaku SK MenkumHAM, tapi jika sifatnya "condemnatoir" atau perintah, dia terhitung efektif hanya jika Menkum HAM menjalankannya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement