REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Hanura DPR RI menolak perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) dan Tata Tertib (Tatib) DPR sebagai solusi memecahkan kebutuan politik antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Hanura khawatir perubahan UU MD3 dan Tatib DPR untuk memberi jatah pimpinan alat kelengkapan dewan (akd) ke KIH akan memberikan pendidikan politik yang tidak baik ke masyarakat.
"Jangan berkompromi dengan cara-cara yang tidak memberikan pendidikan politik dan hukum yang baik," kata Ketua Fraksi Hanura, Dossy Iskandar saat dihubungi wartawan, Selasa (11/10).
Semestinya, kata Dossy, solusi damai antara KIH dan KMP diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. Pemilihan pimpinan akd mesti diulang dengan mempertimbangkan proporsionalitas jumlah kursi masing-masing fraksi. Bukan menambah posisi pimpinan baru untuk KIH. "Kalau mengubah undang-undang seolah-olah aturan dibuat sesuai selera. Tidak baik," ujar Dossy.
Dossy mengaku belum berkomunikasi dengan fraksi-fraksi di KIH. Dia berharap fraksi-fraksi di KIH mengedepankan etika politik yang baik. Jangan mengubah aturan undang-undang seenaknya. "Mudah-mudahan saja tidak jangka pendek yang transaksional," katanya.
Hanura tidak mempersoalkan apabila tidak mendapat posisi pimpinan di akd. Yang penting, kata Dossy, ialah bagaimana menuntaskan persoalan secara musyawarah mufakat. Tidak boleh ada satu kelompok mayoritas di parlemen yang melakukan tirani terhadap kelompok minoritas. "Jadi bukan masalah KIH peroleh kedudukan," ujarnya.
Kendati begitu, Dossy mengakui bahwa dua politikus PDIP, Pramono Anung dan Olly Dondokambe merupakan juru runding KIH ke KMP. Dia menyatakan akan menolak apapun keputusan yang bersifat transaksional dalam menyelesaikan kebuntuan politik KMP dan KIH.
"Kami menolak. Ini bukan diberi dan tidak diberi. Ini salah arah," katanya.