Selasa 11 Nov 2014 17:11 WIB

Haji Perspektif Syariah, Tarekat, Dan Hakikat (11)

Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: Republika/Musiron/ca
Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Dalam perspektif ilmu fikih, Ka’bah dipahami sebagai bangunan suci berbentuk kubus berukuran ting gi 11,03 m dengan sisi 11,03 m x 12,62 m yang terletak di tengah Masjid Haram, Makkah.

Sebagaimana disinggung dalam artikel terdahulu bahwa Ka’bah pertama kali dibangun atas permintaan Adam dan Hawa ketika keduanya baru saja diturunkan di bumi penderitaan dari surga kenikmatan, sebagai akibat pelanggaran perintah Allah, mendekati buah terlarang. Ka’bah dibangun sebagai miniatur Baitul Makmur dan Baitul makmur sendiri juga merupakan miniatur Arasy, istana Tuhan.

Pada dinding Ka’bah melekat Hajar Aswad, batu pualam berwarna hitam yang berongga ditempelkan di sudut Ka’bah di samping kanan pintu masuk Ka’bah. Dalam salah satu riwayat dikatakan semula batu itu putih laksana intan kemilauan tetapi sekarang menjadi hitam. Ada yang mengatakan karena lelehan dosa manusia yang menciumnya.

Pembangunan Ka’bah ketika Nabi berusia 30 tahun (600 M) dan belum diangkat menjadi Rasul pada saat itu, bangunan ini direnovasi kembali akibat banjir bandang yang melanda Kota Makkah pada saat itu. Terjadi perselisihan antarkepala suku atau kabilah ketika hendak meletakkan kembali hajar aswad di tempatnya.

Namun berkat kecerdasan Nabi Muhammad SAW, perselisihan itu ber hasil diselesaikan tanpa pertumpahan darah dan tanpa ada pihak yang dirugikan. Nabi meletakkan selendangnya yang bersegi empat, kemudian keempat kelompok bertikai masing-masing memegang ujung selendang yang berisi hajar aswad itu lalu diangkat ke tempat pemugaran.

Setelah sampai di sana Nabi Muhammad meletakkan batu itu ke tempat yang sudah disiapkan bersama-sama dengan keempat kelompok yang bertikai itu.

Hingga saat ini Ka’bah sudah berdiri megah di tempatnya. Pengurusannya diserahkan kepada para penguasa Arab Saudi, mulai dari Bani Sya’ibah sebagai pemegang kunci Ka’bah.

Administrasi dan pelayanan haji diatur oleh pemerintah semenjak khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawwiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Ummayyah, Dinasti Abbasiyyah, Dinasti Usmaniyah Turki, sampai saat ini yakni pemerintah kerajaan Arab Saudi yang bertindak sebagai pelayan dua kota suci (khadimul haramain), Makkah dan Madinah.

Kini kota suci itu sudah seperti milik semua umat Islam, bukan lagi hanya milik dan otoritas sepenuhnya pemerintah Arab Saudi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement