REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM -- Para pejabat Israel pada Rabu (12/11) berusaha menggolkan rencana untuk membangun 200 rumah di Ramat Shlomo, satu permukiman di Jerusalem, meskipun tindakan serupa dikutuk keras oleh masyarakat internasional pekan lalu.
Komite Lokal bagi Perencanaan dan Pembangunan di Kota Praja Jerusalem mengumumkan di dalam satu pernyataan bahwa rumah tersebut, yang rencana pembangunannya kontroversial, akan didirikan di tanah yang saat ini menjadi milik seorang pengembang swasta.
Seorang pejabat senior di Kota Praja Jerusalem memberitahu stasiun televisi Israel, Channel 2, komite itu juga memberi izin bagi pembangunan rumah baru untuk orang Arab di Jerusalem Timur. "Hanya mengecam pembangunan rumah buat orang Yahudi itu munafik," kata pejabat tersebut, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis pagi. Ia menambahkan pembangunan rumah baru itu "penting bagi pembangunan kota tersebut dan menarik pasangan muda".
Tindakan tersebut dilakukan saat bentrokan terjadi setiap hari antara pemuda Palestina dan polisi Israel mengenai akses ke tempat suci dan berlanjutnya pembangunan permukiman Yahudi.
Itu adalah untuk ketiga kali selama November komite tersebut menyetujui pembangunan rumah baru buat pemukima Yahudi di wilayah Arab, Jerusalem Timur. Pada Senin (10/11), komite itu memberi izin bagi pembangunan sebanyak 500 rumah di Ramat Shlomo, dan dua hari kemudian kembali menyetujui tambahan 278 rumah di Ramat dan Har Homa --keduanya adalah Permukiman Yahudi di Jerusalem.
Permukiman di Wilayah Palestina di Tepi Barat Sungai Jordan dan Jerusalem Timur tidak sah berdasarkan hukuma internasional. Beberapa babak pembicaraan perdamaian antara Israel dan Palestina mencapai kebuntuan sehubungan dengan masalah pembangunan Permukiman Yahudi oleh Israel.
Israel mencaplok Jerusalem Timur setelah Perang Timur Tengah 1967, tindakan yang tak diakui oleh masyarakat internasional. Lebih dari 300.000 orang Palestina tinggal di wilayah itu.
Rakyat Palestina dan masyarakat internasional dengan tegas menentang pembangunan rumah baru tersebut, terutama karena pembangunan itu menimbulkan kesulitan untuk membentuk wilayah yang bersambung antara Tepi Barat dan Jerusalem Timur.
Rakyat Palestina memandang Jerusalem Timur sebagai Ibu Kota Negara palestina pada masa depan. Para pejabat Israel kembali mengulangi pendirian bahwa Jerusalem "adalah Ibu Kota Abadi dan tak terpisahkan" bagi Israel dan menolak kecaman masyarakat internasional. Mereka mengatakan Israel "memiliki hak untuk membangun rumah di sana".