Kamis 13 Nov 2014 13:23 WIB

Presiden Harus Tanggap Darurat Kekerasan Anak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski pemerintahan berganti, tapi banyak persoalan bangsa tak bisa menanti kegaduhan politik mereda. Kondisi darurat kekerasan seksual yang menimpa anak, sudah tidak boleh terabaikan karena menunggu sistem kerja baru dari pemerintahan yang baru

 

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyatakan hal ini usai melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) Polda Metro Jaya,  Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat,  Komisi Nasional Perlindungan Anak,   serta Aliansi  Menolak Perdagangan Orang NTT (Ampera NTT). Rapat itu mengambil agenda “Menyikapi kasus-kasus kekerasan pada perempuan, pelecehan seksual terhadap anak dan human trafficking”.

 

Dalam RDPU yang berlangsung, Rabu (12/11), terungkap bagaimana kondisi darurat kekerasan seksual pada anak dan perempuan belum juga mereda. Selain kehebohan kejahatan kekerasan seksual pada anak TK yang terungkap awal tahun, kasus human trafficking atau perdagangan orang yang berdalih pemberian lapangan pekerjaan, tapi berujung pada belitan prostitusi terus saja bermunculan memakan korban yang sebagian besar perempuan dan anak.

 

“Dalam beberapa bulan terakhir,  saat fokus masyarakat terarah pada keriuhan situasi politik pasca-pemilu legislatif dan pilpres, perdagangan anak berujung prostitusi ditemukan terjadi di berbagai wilayah diantaranya Aceh, Bali, JawaBarat, Jawa Tengah, NTT dan Jakarta,” kata dia.

 

Bahkan, kata Hanifa, kabar perdagangan orang terkini dari Jakarta terkuak saat KPAI bersama penegak hukum menggerebek wilayah remang-remang di Kalijodo, Jakbar dan menemukan korban 24 perempuan. Ironisnya, sebagian masih berusia di bawah 18 tahun, asal Jawa Barat untuk dijadikan pekerja seks.

 

Hanifa mengingatkan, upaya mengatasi kejadian kekerasan pada perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual dan human trafficking harus dilakukan lintas sektoral. Bahkan, hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah secara bersama-sama.

 

Dikatakan Hanifa, selain persoalan hukum tentang bagaimana kesigapan aparat menyelidiki, membongkar, menangkap pelaku kejahatan hingga terjadinya proses persidangan, juga ada masalah lain yang harus diperhatikan. Yakni, perlindungan saksi korban, pemulihan fisik dan psikis korban, serta bagaimana memutus mata rantai perdagangan orang yang seringkali melibatkan faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, rapuhnya ketahanan keluarga serta lemahnya nilai-nilai agama dan moral.

 

Pada pemerintahan SBY  telah dibentuk gugus tugas penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di bawah Menko Kesra dengan ketua hariannya menjadi tanggung jawab Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Maka, Ledia pun berharap, gugus tugas semacam ini tetap menjadi prioritas pemerintahan Jokowi.

 

“Presiden harus tanggap soal darurat kekerasan pada anak dan human trafficking ini. Sebab ini merupakan persoalan genting yang tak bisa ditunda penyelesaiannya. Membangun sistem lintas sektoral untuk mengatasinya harus menjadi prioritas dalam, katakanlah, agenda Presiden di 100 hari pertama,” ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement