REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Isu tentang pengalihan subsidi BBM terus bergulir. Beberapa pihak menganggap kenaikan harga BBM akan membebani rakyat khususnya kelas menengah ke bawah. Pihak lainnya menyatakan dukungannya terhadap wacana pemerintah untuk mengalihkan subsidi BBM.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya W Yudha misalnya, tidak akan mempermasalahkan rencana pengalihan subsidi BBM yang akan dilakukan pemerintah. Namun menurutnya, pengalihan subsidi BBM harus diarahkan kepada program yang pro-rakyat.
"Kita dipilih oleh rakyat dan harus memastikan kebijakan itu menguntungkan rakyat," katanya di Jakarta, Kamis ( 13/11). Satya menambahkan, saat ini terdapat 1,2 juta penduduk miskin dan hampir miskin di Indonesia.
Untuk itu, dia beranggapan bahwa pemerintah berkewajiban untuk meningkatkan daya beli mereka akibat pengalihan subsidi BBM tersebut. Sementara itu, Pakar ekonomi dari Universitas Andalas, Prof DR Elfindri, menilai tepat rencana pemerintah mengalihkan subsidi BBM kepada pembangunan infrastruktur di Indonesia.
"Artinya infrastruktur bisa dibangun dibiayai dengan perubahan kompensasi," katanya. Elfindri mengaku pernah mengusulkan kepada pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM, pada 2011, dan dialihkan kepada pertumbuhan infrastruktur di Tanah Air.
Dia menjelaskan, secara bertahap subsidi BBM perlu segera dikurangi, misalnya dari 60 triliun rupiah menjadi 40 triliun rupiah pada tahun berikutnya dan kemudian dikurangi lagi menuju titik nol. “Selama ini subsidi BBM dalam realisasinya tidak tepat sasaran. Dan dibakar di jalan begitu saja. Tak ada manfaat positif buat rakyat. Penikmat BBM bersubsidi 70 persen-nya adalah masyarakat kategori mampu secara ekonomi,” ujar Elfindri.
Menurutnya, persoalan muncul ketika subsidi terhadap harga tersebut memicu disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi yang cukup melebar. Berdasarkan APBN 2015, anggaran untuk subsidi sebesar 433 triliun rupiah. Untuk subsidi energi sendiri menghabiskan 344,7 triliun rupiah yang terdiri dari subsidi BBM 276 triliun rupiah dan subsidi listrik 68,68 triliun rupiah.