Senin 17 Nov 2014 15:49 WIB

Israel Tegaskan tak akan Batasi Permukiman Yahudi di Jerusalem

Avigdor Lieberman
Avigdor Lieberman

REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM -- Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman mengatakan bahwa pemerintah Israel tidak akan pernah setuju untuk membatasi kegiatan pembangunan permukiman di timur Jerusalem, yakni wilayah yang diambil alih oleh negara Yahudi itu.

"Satu hal yang harus jelas: kami tidak akan pernah menerima definisi pembangunan di lingkungan Yahudi di Jerusalem sebagai aktivitas pemukiman," kata Lieberman dalam sebuah konferensi pers dengan Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier.

"Kami tidak akan menerima pembatasan pada pembangunan di area-area Yahudi di (timur) Jerusalem," ujar dia.

Pernyataan itu ia sampaikan empat hari setelah pemerintah Israel menyetujui rencana untuk membangun 200 rumah di Ramot di wilayah timur Jerusalem, meski selama beberapa bulan terakhir di daerah tersebut terjadi bentrokan dan ketegangan hampir setiap hari antara Israel dan Palestina, yang sebagian besar dipicu oleh perluasan permukiman.

Pengumuman Menlu Israel itu memicu kecaman bernada tajam dari pemerintah Amerika Serikat yang menyatakan kembali dengan "tegas" menentang pembangunan permukiman di timur Jerusalem.

Pemerintah AS memperingatkan bahwa kegiatan pembangunan oleh Israel itu bisa "memperburuk situasi yang sulit di lapangan dan ... tidak akan memberikan kontribusi terhadap upaya untuk mengurangi ketegangan".

Beberapa sumber yang dekat dengan Menlu Jerman Steinmeier mengatakan bahwa pembangunan permukiman yang berkelanjutan oleh Israel adalah tema sentral dalam pembicaraan antara Steinmeier dan Lieberman, yang juga membahas keperluan untuk melanjutkan perundingan dengan Palestina guna mengakhiri konflik.

Pada pertemuan dengan Presiden Israel Reuven Rivlin pada Minggu (16/11), Steinmeier menyatakan "harapan" agar perundingan damai antara Israel dan Palestina dapat diperbaharui, serta memperingatkan agar kedua belah pihak tidak melakukan langkah sepihak.

"Keputusan-keputusan unilateral dapat menimbulkan hambatan bagi keberhasilan negosiasi," kata Steinmeier dalam sambutannya di kantor Rivlin.

Kemudian, Steinmeier berpendapat bahwa pembicaraan tripartit antara Israel, Yordania dan Amerika Serikat di Amman, Kamis (13/11) telah membuat situasi di Jerusalem "sekarang jauh lebih tenang", setelah beberapa kejadian kekerasan telah memberi kesan bahwa "konflik politik yang benar-benar sulit itu berubah menjadi masalah berdimensi religius".

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang menghadiri pertemuan di Amman dengan Raja Yordania Abdullah II dan Menteri Luar Negeri AS John Kerry, mengatakan bahwa negara-negara Eropa yang secara sepihak mengakui adanya negara Palestina hanya akan merusak kemungkinan terjadinya perjanjian damai.

"Perdamaian hanya mungkin terjadi jika ada kompromi pada semua pihak, dan bukannya tindakan sepihak dan keuntungan sepihak yang ditujukan kepada pihak Palestina, yang sebenarnya terlibat dalam melanjutkan hasutan," kata Netanyahu sebelum bertemu Steinmeier.

Israel merebut wilayah timur Jerusalem dalam Perang Enam Hari pada 1967, dan kemudian mengambil alih wilayah itu, di mana langkah tersebut tidak pernah didukung oleh masyarakat internasional.

Israel mengacu seluruh kota Jerusalem sebagai "ibukota yang bersatu, dan tidak terbagi" miliknya, dan Israel tidak memandang pembangunan di timur Jerusalem sebagai kegiatan permukiman.

Sementara itu, warga Palestina menginginkan wilayah timur Jerusalem sebagai ibukota negara mereka nantinya, sehingga Palestina dengan keras menentang setiap upaya Israel untuk memperluas pembangunan di sana.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement