REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Penandatanganan kesepakatan damai Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih tanpa mencabut hak anggota DPR diapresiasi agar tak menghilangkan fungsi utuh DPR sebagai legislatif.
“Kalau hak angket dan interpelasi DPR dicabut, berarti kita rindu kembali ke rezim Orde Baru. Pada waktu itu, DPR tak lebih dari sekedar tukang stempel dan hanya diam saja,” ujar pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Pangi Syarwi Chaniago, Senin (17/11).
Padahal, hak tersebut lahir dari UUD 1945 pasal 20A ayat 2 yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan fungsinya, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.
Sementara di era rezim Orde Baru, eksekutif sangat dominan dan kuat sehingga disebut excecutive heavy. Setelahnya, bergeser dari excecutive heavy ke pola legislatif.
Pasca reformasi, ujar Ipang, panggilan dari Pangi, DPR memperkuat fungsi lewat amandemen UUD 1945 seperti memegang kekuasaan membentuk undang undang, mengajukan pertanyaan, hak imunitas, dan peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR.
“Jadi, kehendak mencabut hak interpelasi, hak angket dan hak bertanya dalam UU MD3, jangan lanjutkan keinginan tersebut. Karena itu sama mencabut taring DPR,” tegas Ipang.
Bila itu tetap dilakukan, imbuh Ipang, bakal memberikan kekuasaan sangat besar dan dominan pada presiden sehingga kekuasaan DPR lemah, sehingga membuat minimnya perlindungan HAM dan tak berjalannya mekanisme check and balances.