REPUBLIKA.CO.ID, TIMIKA -- Tokoh Suku Amungme, Yosep Yopi Kilangin mendesak PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Pusat segera membicarakan biaya kompensasi masyarakat adat pemilik hak ulayat selama lebih 40 tahun perusahaan itu beroperasi di Mimika, Papua.
"Pertama-tama pemerintah dan Freeport harus menjelaskan kepada masyarakat di mana kompensasi dari hak ulayat yang sekarang dikuasai Freeport mulai dari pantai sampai di gunung. Itu dulu karena selama ini pemerintah dan Freeport selalu cuci tangan sehingga hal ini tidak pernah selesai," kata Yopi Kilangin kepada Antara di Timika, Selasa.
Ia menegaskan bahwa pembicaraan soal divestasi saham PT Freeport saat ini tidaklah menjadi prioritas sepanjang masyarakat adat pemilik hak ulayat tidak pernah mendapat kejelasan tentang hak-haknya selama Freeport mulai ada di Tembagapura Mimika tahun 1974.
"Kalau mau bicara pembagian saham, tunggu dulu. Terlebih dahulu kita harus bicara soal kompensasi. Kalau dari pembicaraan soal kompensasi itu ada uang, tentu masyarakat adat akan memakai uang itu untuk membeli saham Freeport," jelas putra Moses Kilangin, salah satu tokoh yang menandatangani "Januari Agreement" 1974 dengan pemilik Freeport McMoRan, James Robert Moffet.
Yopi mengatakan selama puluhan tahun beroperasi di Mimika, Papua, Freeport selalu berdalih mendapat Hak Guna Usaha (HGU) Pertambangan dari Pemerintah Pusat melalui Kontrak Karya Tahap I dan II untuk berinvestasi di Papua.
"Freeport bilang mendapat tanah itu dari HGU yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Pertanyaan kami, pemerintah pernah membayar tanah kami? Kalau pemerintah pernah membayar, kapan dia membayar sehingga mengambil saja tanah masyarakat lalu diberikan ke Freeport?" tutur Yopi Kilangin.
Mantan Ketua DPRD Mimika periode 2004-2009 itu menilai selama ini baik Freeport maupun pemerintah belum pernah secara terbuka membicarakan soal penyelesaian masalah kompensasi penggunaan tanah, hutan, sungai milik masyarakat Suku Amungme dan Kamoro untuk dijadikan area pertambangan perusahaan yang bermarkas di New Orleans Amerika Serikat itu.
Masalah tersebut, katanya, menjadi pergumulan panjang di kalangan masyarakat Suku Amungme dan Kamoro selama ini dan menjadi agenda utama saat tokoh Amungme, Thom Beanal menggugat Freeport ke Pengadilan Amerika Serikat pada era 1990-an.
"Kalau memang benar bahwa Presiden Joko Widodo memiliki niat untuk memperhatikan secara khusus soal Papua maka pemerintahan beliau harus melihat masalah ini. Kami berharap Presiden Joko Widodo menerima masyarakat adat Suku Amungme dan Kamoro dan bersama-sama duduk membicarakan soal kompensasi sekaligus masalah renegosiasi kontrak karya Freeport," ujar Yopi Kilangin menyarankan.
Menurut dia, semua yang dilakukan oleh Freeport dalam rangka pemberdayaan masyarakat Amungme dan Kamoro serta suku-suku kekerabatan di sekitar area tambang selama ini tidak lebih dari sekadar menjalankan program CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan itu, bukan bagian dari kompensasi kepada masyarakat adat.
"Semua uang yang setiap tahun diberikan oleh Freeport ke Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) mencapai lebih dari Rp1 triliun itu maupun lain-lain yang katanya sudah menghabiskan dana sekitar Rp7 triliun, kami anggap sebagai CSR-nya Freeport," jelasnya.
Ia menambahkan, tidak semua masyarakat Suku Amungme dan Kamoro terlibat membicarakan soal kompensasi PT Freeport. Di antara kedua suku itu, hanya terdapat sekitar 42 marga yang dinilai memiliki hak untuk duduk membicarakan soal kompensasi dari Freeport karena tanah hak ulayat mereka yang terbentang dari pesisir pantai Mimika sampai di wilayah pegunungan yang selama ini dipakai untuk melanggengkan operasional PT Freeport selama puluhan tahun di Papua.
"Yang jelas masalah ini akan terus kami perjuangkan sampai anak cucu kami nanti," janji Yopi Kilangin.