REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Human Right Watch (HRW) menyatakan, Polri mewajibkan tes keperawanan untuk setiap anggota polisi wanita (polwan).
Lembaga itu melakukan wawancara terhadap delapan polwan dan mantan polwan. Termasuk juga dokter polisi, evaluator rekrutmen, anggota komisi polisi nasional (kompolnas) dan juga aktivis hak perempuan.
Wawancara itu dilakukan di Bandung, Jakarta, Padang, Pekanbaru, Makassar, dan Medan. "Semua perempuan yang telah menjalani tes ini menyatakan, tes itu dilakukan kepada semua perempuan di kelas mereka," tulis HRW dalam laman resminya, Selasa (18/11).
Dikatakan, pemeriksaan itu dilakukan di bawah payung hukum Peraturan Kapolri Nomor 5/2009 tentang Pemeriksaan Kesehatan yang menjadi panduan untuk calon polisi.
Pasal 36 dari peraturan itu mewajibkan calon polwan untuk menjalani pemeriksaan kebidanan dan ginekologi (obstetrics and gynecology).
Namun, peraturan itu tidak secara spesifik menyebut tes keperawanan sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan. "Tapi dua polwan senior menyatakan kepada HRW kalau tes itu telah lama dijalankan," tambah HRW.
Dijelaskan, tes itu dilakukan pada awal proses rekrutmen sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan para kandidat. Pusat kedokteran dan kesehatan kepolisian melakukan pemeriksaan di rumah sakit polisi.
HRW menyatakan, menemukan pemeriksaan itu juga melibatkan pemeriksaan dengan dua jari untuk memeriksa keperawanan kandidat.
Sebuah memo yang dibuat pada 2012 oleh organisasi internasional yang bekerja sama dengan kompolnas menyatakan perlunya tes keperawanan tersebut. Pada Oktober petinggi Polri sepakat untuk menghapus tes keperawanan itu. Bahkan, seorang jenderal polisi di pusat kesehatan mengaku kalau tes itu tak lagi digunakan.
Namun, kata HRW, sedikit bukti yang menyatakan kalau tes itu tak lagi digunakan. Bahkan, dalam laman www.infopendaftaranpolri.com tertulis, "Terkait dengan pemeriksaan fisik dan kesehatan, perempuan yang ingin menjadi polwan harus menjalani tes keperawanan. Jadi, perempuan yang ingin menjadi polwan harus menjaga keperawanan mereka".
"Memasuki ruang pemeriksaan itu benar-benar tidak nyaman. Saya takut setelah tes itu saya malah tidak perawan lagi. Tes itu sangat sakit. Teman saya bahkan sampai pingsan... Sangat sakit," ujar seorang perempuan kepada HRW yang mengaku menjalani pemeriksaan pada 2008.