REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peningkatan suku bunga Bank Indonesia (BI rate) berdampak terhadap suku bunga perbankan. Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI), Ryan Kiryanto, mengatakan jika suku bunga acuan naik, perbankan akan menaikkan suku bunga.
Penaikan suku bunga perbankan akan menghambat debitur kredit, Net Interest Margin (NIM) akan tertekan dan menyusut. "Mungkin permintaan kredit berkurang, ekspansi kredit berkurang, provitabilitas bank akan tertekan," kata Ryan saat dihubungi Republika, Selasa (18/11).
Ryan memperkirakan kenaikan suku bunga perbankan sama dengan kenaikan BI rate, yakni 25 basis poin (bps). "Dengan BI rate 7,5 persen pelaku bank sudah tertekan tentu akan semakin tertekan, cederung akan wait and see tidak akan ekspansi," imbuhnya.
Sementara itu, inflasi pada akhir 2014 diperkirakan naik sekitar 1,5 persen menjadi 6,8 persen. Pertumbuhan inflasi telah dicegah oleh BI dengan menaikkan BI rate. Meskipun, menurutnya, tanpa menaikkan BI rate, inflasi sudah ada.
Langkah BI menaikkan suku bunga merupakan upaya preventif agar jangan sampai inflasi menjadi liar. Sebab, adanya ekspektasi inflasi naik menjadi salah satu faktor BI rate dinaikkan, melihat sisa waktu 1,5 bulan kemungkinan target BI inflasi 4,5 persen tidak tercapai.
"Makanya BI menaikkan suku bunga acuan, tapi saya yakin inflasinya sekitar 6,3 persen, itu inflasi paling bagus di akhir tahun ini," ujarnya.
Menurutnya, timing. Pemerintah dalam pemilihan waktu menaikkan harga BBM pada November cukup tepat ketika inflasi rendah.
Berbeda dengan Juni 2013 saat Presiden SBY menaikkan harga BBM timing-nya dianggap kurang tepat.
Di samping itu, kebijakan penaikan BI rate juga akan berdampak pada implementasi aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dimana bank pada buku IV boleh menetapkan maksimal 200 basis poin di atas BI rate dan pada buku III boleh menaikkan sampai dengan 300 basis poin.