REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Pemerintah Jokowi-JK menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Premium Rp2.000 menuai kritik dan pertanyaan berbagai kalangan. Pasalnya penaikkan BBM tersebut terjadi saat harga minyak dunia sedang turun berkisar USD70-75.
"Pemerintah terburu-buru dalam menaikkan harga BBM subsidi sehingga sangat tercium aroma busuk dibalik kebijakan tersebut," ujar Koordinator Presidium Suropati, Aditya Iskandar di Jakarta, Kamis (20/11).
Apalagi, lanjutnya, saat kampanye Jokowi pernah menjanjikan tidak menaikan harga BBM Premium selaras dengan sikap PDIP yang dulu menolak penaikkan BBM.
"Terlihat jelas Jokowi-JK masuk dan terbawa arus permainan Mafioso Migas. Menaikkan harga BBM ini adalah kerja lama dari para corong Neoliberalisme untuk melepas harga BBM Premium sesuai dengan harga pasar dunia," tegasnya.
Subsidi yang sebenarnya adalah hak rakyat, dianggap haram oleh para pejabat bermazhab washington consessus seperti Rini Soemarno (Menteri BUMN), Sudirman Said (Menteri ESDM), dan Sofyan Djalil (Menteri Perekonomian).
Oleh karena itu, Solidaritas Untuk Pergerakan Aktivis Indonesia (Suropati) menuntut panca manifesto ke pemerintahan Jokowi-JK. Pertama, batalkan kenaikan harga BBM. "Copot dan tangkap para Menteri antek Neolib dan mafia migas seperti Rini Soemarno, Sudirman Said dan Sofyan Djalil," jelasnya.
Ketiga, lanjutnya, segera lakukan nasionalisasi industri migas. Ke Empat, kembalikan Pasal 33 UUD 1945 yang asli dan kelima stabilkan harga-harga.
Senada dengan tuntutan Suropati, Ribuan elemen mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka Jakarta. Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan menyerukan bahwa kebijakan penaikkan BBM adalah kebijakan Neolib yang menyengsarakan rakyat.
"Sejatinya kenaikan BBM adalah perjanjian khianat Pemerintah dengan antek asing untuk meliberalisasi sektor hilir. Ini menegaskan bahwa rezim Jokowi -JK adalah Jongos Asing, Pro Asing dan bukan pro kepada rakyat," ujar Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Pembebasan Ricky Fattamazaya di Jakarta.