REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Upaya sejumlah pihak untuk menggoyang dan menghapuskan UU Larangan Penodaan Agama memang sudah dilakukan sejak dulu. Bahkan pada 2010, tujuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengajukan uji materi undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketujuh LSM itu adalah Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Mereka juga didukung oleh Gus Dur, Musdah Mulia, Dawam Raharjo, dan KH Maman Imanul Haq.
Namun, upaya mereka gagal karena Mahkamah Konstitusi (MK), yang ketika itu dipimpin Mahfud MD, menolak permohonan judicial review UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama tersebut. “MK memutuskan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Mahfud MD ketika itu, Senin (19/4/2010).
Dalam putusannya, Mahfud menjelaskan bahwa negara memang memiliki otoritas untuk mengatur masyarakat. Jika ada konflik, maka yang bisa memberikan paksaan untuk mengatur adalah negara.
Para pemohon beralasan bahwa ketentuan di UU Penodaan Agama melanggar kebebasan memeluk agama dan keyakinan yang dijamin konstitusi. Tafsir agama seharusnya tidak boleh dibatasi dan dikembalikan kepada komunitas pemeluk agama yang bersangkutan. Apabila tafsir dikembalikan kepada komunitasnya, hal itu tidak akan menimbulkan persoalan yang besar.
Sementara Pemerintah SBY, melalui menteri agama mengatakan jika UU ini dihapus maka seseorang dapat menistakan agama tanpa bisa dipidana. Ketika itu Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Patrialis Akbar mengingatkan bahwa bila UU ini dicabut maka yang akan terjadi adalah gejolak dan konflik horizontal di dalam masyarakat.
Tak hanya pemerintah, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah secara tegas menolak judicial review yang diajukan para pihak tersebut.