REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -— Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) melalui Kementerian Agama (Kemenag) bersiapa mencabut Undang-Undang No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Saat ini mereka sedang menyiapkan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen Bimas Islam) Kementerian Agama Machasin mengatakan beberapa poin yang tertera dalam UU atau Penodaan Agama mesti dicabut maupun direvisi. “Sebagaimana diputuskan MK (Mahkamah Konstitusi), pencabutan atau revisi atas UU tersebut itu akan dibuat jika sudah ada penggantinya,” Machasin kepada Republika Online (ROL), Ahad (23/11).
Pemerintah tidak langsung mencabut UU Penodaan Agama, karena akan banyak madharat-nya jika belum ada UU penggantinya. Sehingga UU Penodaan Agama akan dipertahankan untuk sementara waktu. Kemenag pun, tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Umat Beragama.
Disebutkannya, setidaknya terdapat dua poin yang mesti direvisi, yakni terkait ketetapan enam agama saja yang disebutkan dalam undang-undang, sementara yang lainnya menjadi terkesan diabaikan. Dampaknya, pelayanan yang adil oleh pemerintah terhadap umat beraga dan berkeyakinan di luar agama yang enam dipertanyakan.
Kedua, terkait pembedaan antara kelompok beragama atau keyakinan dengan kelompok sempalan. “Di UU no 1 tahun 1965, pembedaannya tidak terlalu jelas sehingga kelompok yang sempalan itu diperlakukan seperti orang yang menodai agama,” katanya. Ia menilai ketidakjelasan tersebut jika tidak disikapi secara hati-hati akan berbenturan seperti persoalan yang dialami Ahmadiyah dan Syiah.
Dicontohkannya, Islam yang meyakini Yesus seorang nabi bukan Tuhan sementara Kristen mengatakan Yesus adalah tuhan. Hal tersebut tidak masuk kategori penodaan oleh Islam karena hanya disampaikan untuk kalangan umat Islam sendiri. “Kalaupun Kristen meyakini Yesus sebagai Tuhan, silakan saja karena itu keyakinan mereka,” katanya.