REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penegakan hukum dan kepastian hukum di sektor kehutanan sudah saatnya menjadi prioritas utama Pemerintahan Joko Widodo.
Untuk itu presiden melalui Menteri Kehutanan Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera merivisi atau mencabut beberapa peraturan menteri (Permen) dan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menutup celah korupsi yang dilakukan pemerintah daerah.
Menurut Divisi monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho ada delapan regulasi yang menjadi prioritas untuk segera direvisi Jokowi, agar celah korupsi di sektor hutan bisa ditutup.
Pertama yang harus direvisi seperti PP 6/2007 jo. PP 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Dua PP 45/2004 jo PP 60/2009 tentang perlindungan Hutan. Tiga Permenhut P.50/2010 Jo. P.62/2012 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Arela Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasul Hutan Kayu Dalam Hutan Alam, IU PHHK restorasi ekosistem, atau IU PHHK Hutan Tanam Industri Pada Hutan Produksi.
Empat Permenhut P.33/2 009 jo. P.5/2011 tentang Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala Pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi.
Lima Permenhut P.56/2009. Enam Permenhut P.55/2006 jo.P.8/2009 tentang Penataan Hasil Hutan yang Berasal daru Hutan Negara.
Tujuh Permenhut P.18/2007. Delapan Permenhut P.39/2008 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan.
Menurut pria yang akrab disapa Econ itu, alasan pencabutan atau revisi PP atau Permenhut karena regulasi dan kebijakan itu terbukti secara empirik mempermudah praktik-praktik korupsi di sektor kehutanan.
"Memberikan celah transsaksional bagi Gubernur, Bupati dan Walikota dengan memberikan izin melalui regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat," kata Econ.
Selain itu menurut Econ dengan adanya PP dan Permenhut terkait pemanfaatan hutan itu tidak sejalan dengan Undang-Undang nomor 41 tahun 1999.
Misalnya kata Econ dengan adanya PP 6/2007 jo PP 3/2008, ICW memberikan kesimpulan pertama bahwa PP atau Permenhut terkait hutan itu tidak banyak manfaatnya bagi masyarakat. Kedua tidak ada pembatasan luas dan produksi ketika menyangkut izin pemanfaatan kayu hutan.
"Malah sebaliknya aturan tentangnya malah mendorong untuk melewati target dan mendapatkan insentif," ujarnya.
Ketiga perlindungan dan pemberdayaan masyarakat tidak dilakukan dengan tegas dan dengan bentuk izin yang lebih kuat karena skema yang ditawarkan lebih banyak menggantungkan pada pihak lain.
Keempat pengaturan soal penghindaran konflik kepentingan tidak diatur sehingga membuka ruang pemusatan kekuasaan kayu/hutan pada pihak-pihak terntentu.
Menurut Econ, ada dua kemungkinan kenapa PP dan Permenhut itu dibuat malah menguntungkan para pengusaha di sektor hutan.
"Pertama kesalahan fatal dalam proses penyusunan peraturan, di sisi lain bukan tidak mungkin ada praktik transaksional untuk mendapat keuntungan material," katanya.