REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Para menteri kabinet Israel berencana memasukkan usulan peresmian status negara sebagai tanah air kaum Yahudi dalam konstitusi dengan menghilangkan kata "demokrasi."
Dalam usulan itu, Israel dalam konstitusinya tidak lagi didefinisikan sebagai negara "Yahudi dan demokratis" sebagaimana sebelumnya, melainkan diubah menjadi "tanah air bangsa Yahudi."
Para pengamat mengatakan, usulan penggantian undang-undang dasar itu akan berdampak pada institusionalisasi diskriminasi terhadap 1,7 juta keturunan Arab yang mempunyai kewarganegaraan Israel.
Selain itu, mereka mengatakan bahwa undang-undang lama juga tidak terlepas dari dari karakter "anti-demokratis" karena lebih mendahulukan karakter "Yahudi" dibandingkan dengan "demokrasi."
Usulan perubahan undang-undang --yang ditulis oleh partai kanan garis keras Likud tersebut-- akan dipilih anggota kabinet pemerintahan menjelang pemungutan suara awal di parlemen, Rabu mendatang.
Usulan tersebut telah memicu reaksi keras dari anggota parlemen dan kabinet dari partai berhaluan tengah dan kiri yang mengkhawatirkan munculnya diskriminasi yang terinstitusionalisasi.
Kelompok minoritas Arab Israel, yang berjumlah 20 persen dari keseluruhan populasi, adalah warga keturunan Palestina yang tetap bertahan dan tidak turut mengungsi setelah negara Israel resmi dibentuk pada 1948.
Jika usulan tersebut disepakati, maka akan terjadi, institusionalisasi rasisme, yang sudah menjadi realitas keseharian baik dalam undang-undang maupun di jantung sistem politik, kata Majd Kayyal kepala Lembaga Hak Minoritas Arab-Israel.
"Demokrasi seharusnya menjamin hak yang sama bagi semua warga negara dihadapan hukum negara, namun perubahan rasis ini memasukkan perbedaan perlakuan berdasarkan agama," kata dia.
Sementara itu Jaksa Agung Israel, Yehuda Weinstein, juga mengkritik usulan perubahan konstitusi karena dinilai melemahkan karakter demokratis Israel.
Pada pekan lalu, Menteri Kehakiman Israel, Tzipi Livni, berhasil menunda upaya awal menempatkan usulan undang-undang yang sama ke dalam mekanisme voting.
Ilmuwan politik dari Open University di Israel, Denis Charbit, memperkirakan bahwa versi final amandemen konstitusi akan lebih bersifat moderat.
"Ini adalah bagian dari politik sandiwara. (Perdana Menteri Benjamin) Natanyahu sadar bahwa pilihan perubahan undang-undang yang dikritik oleh jaksa agung adalah langkah yang sangat problematis," kata Charbit.