REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Empat tahun lalu, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) bersama dengan enam lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya mengajukan judicial review terhadap Undang-undang (UU) Nomor 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama (UU PNPS) akan tetapi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). PBHI menilai ada beberapa kelemahan dalam UU PNPS ini.
Kepala Divisi Advokasi Hak Asasi Manusia (HAM) PBHI Totok Yulianto, menyatakan salah satu hal yang dikritisi oleh PBHI terkait UU PNPS ini ialah lemahnya perlindungan terhadap seluruh keyakinan. Dalam undang-undang memang tersirat adanya pengakuan terhadap seluruh keyakinan, akan tetapi pemerintah kemudian memberikan porsi yang besar kepada enam besar agama di Indonesia. Hal ini membuat perlindungan untuk keyakinan di luar dari enam besar agama tersebut menjadi sangat minim. “Saya pikir itu juga perlu jadi perhatian,” ujar Totok kepada Republika Online, Senin (24/11).
Totok menilai, semangat kebebasan beragama seharusnya tidak dibatasi dengan undang-undang. Pasalnya, kebebasan beragama merupakan hak individu yang seharusnya dilindungi. Jadi, selama tidak menimbulkan konflik, maka kebebasan beragama tidak bisa dibatasi. Kalau pun, nantinya muncul sebuah konflik keagamaan, yang perlu dikenakan sanksi ialah tindak kejahatan yang mengatasnamakan agama tersebut. “Bukan karena keyakinannya,” lanjut Totok.
PBHI berharap, jika wacana pencabutan UU PNPS jadi dilaksanakan dan diganti dengan UU lain, pemerintah atau negara bisa lebih memberikan jaminan terhadap hak asasi manusia terkait pelaksanaan keyakinan, apapun agama seseorang. Selain itu, PBHI juga berharap pemerintah akan lebih bijak untuk membedakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan agama dengan agama itu sendiri sebagai suatu keyakinan. “Memberikan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan terhadap hak beragama,” jelas Totok.