REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tuntutan pencabutan pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menimbulkan banyak kecaman dan penolakan dari berbagai kalangan khususnya dari kelompok agama. Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto menilai tuntutan tersebut sebagai suatu hal yang aneh dan tidak mendasar.
Ismail Yusanto mengatakan, pernikahan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang sakral karena tata caranya yang mengikuti ketentuan agama. "Kalau bukan pakai hukum agama, lalu pakai hukum apa?" kata Ismail Yusanto saat dihubungi ROL, Selasa (25/11).
Menurut dia, pernikahan beda agama tidak cocok dengan tujuan pernikahan sebenarnya. Ia menambahkan, pernikahan dalam islam salah satunya bertujuan untuk mencapai hubungan yang sakinah (damai), mawaddah (penuh cinta) dan warahmah (kasih sayang).
Menurut dia, pernikahan beda agama justru akan memperbesar perbedaaan. Padahal, lanjut dia, semakin kecil perbedaan semakin kecil pula konflik yang terjadi dalam sebuah rimah tangga.
Sebelumnya, Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dianggap inkonstitusi karena bertentangan dengan nilai-nilai HAM yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM). Menurut DUHAM pembatasan perkawinan hanyalah berdasarkan dua hal saja, yaitu batasan usia tertentu, dan dilakukan atas dasar kesepakatan an sich, dengan menolak pembatasan selain itu.