REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang uji materi pasal-pasal dalam KUHAP yang mengatur dua alat bukti dalam menetapkan tersangka kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa, (25/11). Gugatan diajukan oleh tim pengacara Bupati Tapanuli Tengah (nonaktif) Raja Bonaran Situmeang.
Dalam sidang dengan agenda perbaikan permohonan ini, tim pengacara tetap dengan permohanannya, yakni meminta majelis konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat 1 KUHAP dinyatakan bertentangan dengan UUD 45 Pasal 28 tentang persamaan hak warga negara di hadapan hukum. “Atau dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” kata Koordinator tim pengacara Bonaran, Amor Tampubolon.
Menurut Amor, rumusan pasal tentang dua alat bukti yang cukup dalam penetapan seseorang sebagai tersangka dan penahanannya ini tidak jelas alias multitafsir. Kondisi ini, sambungnya, membuat ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.
Amor melanjutkan, penolakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan penjelasan soal dua alat bukti yang dijadikan dasar menetapkan Bonaran sebagai tersangka kasus suap sengketa pilkada yang melibatkan mantan ketua MK Akil Mochtar.
“Mereka (KPK) bilang tidak ada aturan soal itu. Padahal, di KUHAP Pasal 15 diatur soal itu demi pembelaan sebagaimana juga diatur dalam undang-undang tentang HAM,” kata Amor.
Menurut Amor, KPK tidak merespons surat tertulis yang disampaikan Bonaran soal permintaan penjelasan dua alat bukti yang dijadikan dasar oleh KPK menetapkan Bonaran sebagai tersangka. Sidang lanjutan uji materi ini masih menunggu agenda dari MK. Dalam sidang kemarin, perbaikan permohonan dibacakan anggota tim pengacara Bonaran, Kores Tambunan. Sidang dipimpin hakim konstitusi Anwar Usman.