REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi mendesak DPR untuk segera memilih satu dari dua calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah diserahkan pemerintah. Pemilihan oleh DPR harus selesai sebelum masa reses pada 6 Desember mendatang.
Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi, Lalola Ester mengatakan, bola pemilihan pimpinan KPK saat ini berada di DPR. Tugas pemerintah telah selesai setelah dua nama calon diserahkan melalui proses yang dilakukan oleh panitia seleksi (pansel) KPK 16 Oktober lalu.
Kini, kata dia, DPR melalui Komisi III harus memilih salah satu dari dua calon tersebut untuk menggantikan posisi wakil ketua Busyro Muqoddas yang habis 10 Desember mendatang.
"DPR harus melaksanakan pemilihan selambat-lambatnya sebelum DPR memasuki masa reses pada 6 Desember 2014," katanya dalam keterangan pers di kantor ICW, Ahad (30/11).
Dia mengatakan, upaya pengocokan ulang dengan alasan DPR tidak dilibatkan sejak awal proses seleksi juga dinilai tidak memiliki dasar hukum. Tidak ada alasan bagi DPR untuk menolak dua nama yakni Busyro Muqoddas (pimpinan KPK periode 2010-2014) dan Roby Arya Brata (staf ahli sekretaris kabinet) yang telah diserahkan pansel KPK.
Sebab, kata Lalola, dalam pasal 30 ayat 10 UU Nomor 30/2002 tentang KPK menyebutkan, DPR wajib memilih dan menetapkan pimpinan KPK dalam waktu paling lama tiga bulan sejak presiden menyerahkan nama-nama calon. "Jadi DPR tidak berhak menolak calon yang diajukan," ujarnya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi, Miko Ginting menambahkan, dalam tata tertib Nomor 1/2015 pasal 52 ayat 2 memang dimungkinkan adanya agenda dengan badan musyawarah (bamus) dalam masa reses. Jika tidak terjadi, maka pimpinan DPR dapat melakukan rapat konsultasi bersama pimpinan fraksi yang ada di DPR.
Masalahnya, kata Miko, hal itu akan sama saja karena kembali pada 'pertempuran' antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang ada di DPR. Maka sebaiknya DPR melalui Komisi III memilih satu di antara dua calon yang telah diserahkan pansel. "Tapi benar-benar suara Komisi III, bukan KMP atau KIH," ujarnya.
Dia menambahkan, jika sampai masa jabatan Busyro DPR belum juga memilih, maka DPR minimal harus membuat pernyataan untuk tidak memasalahkan legitimasi keputusan KPK yang hanya diisi empat orang. Hal itu sebagai wujud komitmen dari lembaga legislatif tersebut terkait pemberantasan korupsi di negeri ini.
"Kalau tidak memilih tapi kemudian di depan mempermasalahkan, berarti mereka (DPR) tidak punya komitmen terhadap pemberantasan korupsi," katanya.