REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok punk yang bergerak di bawah tanah di Indonesia disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia. Investigasi ABC Australia menemukan, para punkers tetap eksis meskipun banyak upaya memberantas kelompok musik radikal ini dan Indonesia juga semakin stabil secara politik.
Di Indonesia, keterlibatan seseorang sebagai punkers bisa berisiko ditahan dan dimasukkan dalam program re-edukasi. Namun, tampaknya tidak banyak yang tahu, bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan banyak punker yang bergerak sembunyi-sembunyi.
Dunia kaum punker di Indonesia diwarnai kehidupan yang khaos, teriakan, dan kegiatan kolektif di bidang seni dan musik dengan mengajar anak-anak jalanan cara mengamen untuk bertahan hidup.
Cerita tentang punk di Indonesia dibumbui oleh aroma tempe goreng pinggiran jalan raya dan asap knalpot kendaraan. Bunyi-bunyian yang kontras tercipta saat suara azan menggema bertemu dengan suara teriakan para punker diselingi lengkingan gitar listrik.
Terasa adanya kerumitan dalam pengalaman menjadi seorang punkers, hubungan lama antara tattoo dengan kriminalitas, sejarah kekerasan yang dijalankan negara, serta anak-anak muda yang memilih menjadi punkers saat ini yang didorong oleh energi yang dihembuskan oleh musik punk.
Namun, cerita punk di Indonesia juga tidak lepas dari persahabatan, keluarga, dan bagaimana punk bisa menjadi jalan keluar.
Di tahun 2011 silam, Pemerintah Aceh menangkap 64 punkers dalam sebuah konser di Banda Aceh. Mereka ditahan dan akhirnya dikirim untuk mengikuti pendidikan moral selama 10 hari di markas tentara.
Peristiwa itu menjadi perbincangan dan sejumlah kelompok HAM dan punkers di seluruh dunia melancarkan aksi simpati. Mereka turun ke jalan dan meneriakkan "Bebaskan punkers Aceh!"
Kerusuhan di akhir 1990an yang menandai jatuhnya rezim Presiden Suharto, menjadi ladang subur tumbuhnya para punkers Indonesia.
Punk masuk ke Indonesia saat Suharto masih di puncak kekuasaannya, dan disebut-sebut menjadi ajang pembebasan bagi anak-anak muda yang tertekan di tengah kehidupan yang korup dan dipenuhi kekerasan.
Bank punk bawah tanah seperti Marjinal dan kegiatan seni Taring Babi aktif menggelar wokrshop di sejumlah daerah, mengajari anak-anak jalanan bernyanyi dan bermain gitar. Musik-musik Marjinal menjadi soundtrack dari generasi anak-anak jalanan.
Spirit musik punk sendiri yang anti kapitalis, anti otoriter, otonom dan tidak terikat, membuatnya tidak mencari solusi di dalam sistem yang ada. Tapi, para punkers membuat sistem mereka sendiri.
Punkers jalanan menepis beban religi, budaya, dan realitas kemiskinan. Mereka mencari pembebasan di jalan-jalan. Ketegangan norma agama dan budaya dengan gaya hidup punkers hingga kini masih berlangsung. Operasi anti punkers terjadi di sejumlah tempat. Yang terbaru terjadi di Bali, Februari 2014 lalu.
Kini, dengan stabilitas politik yang kian baik, pemerintahan baru yang ingin melepaskan diri dari sejarah politik yang korup, apakah punk masih relevan di Indonesia? Para punkers di Indonesia menyatakan masih.