REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan fokus studi dana optimalisasi menyimpulkan, setidaknya ada enam titik potensi korupsi Dana Optimalisasi.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas dalam paparan hasil kajian di Gedung KPK, Jakarta, Senin, menyampaikan permasalahan tersebut di depan Menteri PPN/Bappenas Andrinof Chaniago, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani dan Deputi Perekonomian BPKP Ardan Adipermana.
Dalam siaran pers Humas KPK, Priharsa Nugraha yang diterima Antara di Pontianak, adapun enam permasalahan itu antara lain, pertama, pengalokasian dana optimalisasi tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Hasil reviu BPKP menyebutkan 15 K/L yang menerima tambahan belanja tidak mengalokasikan dananya pada program atau kegiatan atau rincian kegiatan sesuai kriteria yang ditetapkan sebelumnya dengan nilai sebesar Rp4,4 triliun.
Kedua, besaran usulan DPR terkait tambahan belanja tidak sesuai ketentuan undang-undang. Berdasarkan pada penjelasan Pasal 15 ayat 3 UU No. 17/2013 disebutkan, perubahan RUU APBN dapat diusulkan DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit. Pada pelaksanaannya, terjadi peningkatan defisit dari 154,2 triliun rupiah di RAPBN 2014 menjadi Rp175,35 triliun pada UU APBN 2014.
Ketiga, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) hasil pembahasan dengan DPR tidak ditetapkan kembali. Hal ini membuka ruang RKP tersebut untuk terus berubah sampai penetapan APBN dan menyebabkan ambiguitas RKP yang dijadikan acuan dalam evaluasi serta memberikan hasil yang bias untuk perencanaan tahun-tahun berikutnya.
Keempat, proses penelaahan dana optimalisasi belum optimal. Temuan hasil reviu BPKP menunjukkan bahwa proses penelaahan belum efektif menyaring program yang tidak sesuai dengan renja K/L atau RKP.
Kelima, mekanisme dan kriteria pembagian alokasi besaran dana optimalisasi pada masing-masing K/L tidak transparan. Pembagian alokasi ini diserahkan ke Badan Anggaran dan Komisi yang ditetapkan dalam rapat internal dan tidak melibatkan Pemerintah sehingga K/L tidak mengetahui alasan mendapatkan besaran tertentu dalam alokasi tambahan belanja dan tidak siap dalam menjalankan program/kegiatan.
Keenam, tidak ada peraturan tentang kriteria pemanfaatan dana optimalisasi. Hal ini dapat membuka peluang bagi oknum untuk menambah/mengubah/menghilangkan poin-poin kriteria agar mengakomodasi kepentingan pihak tertentu serta membuat K/L dan komisi-komisi tidak mematuhi kriteria yang telah disepakati.