REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengundang timpalannya dari Rusia Vladimir Putin untuk membicarakan perihal peningkatan hubungan kedua negara yang terhindar dari krisis di Suriah dan Ukraina, pada Senin (1/12) di Ankara.
Pembicaraan tersebut diharapkan untuk fokus pada kerjasama di bidang energi, dimana Ankara tidak hanya mencari penurunan harga gas dari Rusia, tetapi juga volume impor yang lebih besar menjelang musim dingin, selain isu-isu diplomatik utama.
Pertemuan ini merupakan kali pertama keduanya bertemu setelah Erdogan menjabat sebagai Presiden Turki dari sebelumnya perdana menteri bulan Agustus 2014, hal yang sama juga dilalui Putin tahun 2012 lalu.
Kritikus sering mencatat kesamaan antara Erdogan, 60, dan Putin, 62, dimana keduanya merupakan orang kuat karismatik yang dituduh oleh pihak asing atas otoritarianisme, tetapi tetap mempertahankan basis dukungan yang signifikan di dlam negerinya.
Rusia dan Turki telah berhasil terlindung dalam sebuah hubungan yang kuat dari perselisihan berpotensi yang merusak atas krisis di Suriah dan Ukraina.
Ankara adalah pendukung kuat dari integritas wilayah negara atas pertempurannya dengan separatis Kurdi yang menentang aneksasi Rusia terhadap Crimea dari Ukraina tahun ini.
Hal ini juga mengkhawatirkan situasi di semenanjung Laut Hitam dimana minoritas Tatar Krimea Turki yang menurut para aktivis, adalah korban penganiayaan oleh otoritas pro-Kremlin baru.
Sementara itu, kedua negara telah berselisih mengenai konflik Suriah, dimana Putin sebagai sekutu besar terakhir yang tersisa dari Presiden Bashar al-Assad, sedangkan Erdogan mendesak untuk menggulingkan pemimpin Suriah secepatnya.
Tapi perselisihan ini tampaknya tidak merugikan aspek lain dari kerjasama, dengan lebih dari empat juta wisatawan Rusia mengunjungi Turki setiap tahun dan Rusia membangun pembangkit listrik tenaga nuklir pertama Turki dengan nilai proyek sebesar 20 miliar Dollar AS.
"Hubungan Turki-Rusia tetap stabil, menjaga kontinuitas dan tidak tergantung pada situasi saat ini," kata Putin dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Turki, Anatolia menjelang kunjungannya.
Putin juga mengakui bahwa "Tentu posisi kami pada beberapa masalah mungkin tidak persis sama atau bahkan berbeda ini wajar bagi negara-negara melaksanakan kebijakan luar negeri yang independen."
Turki merupakan importir Eropa terbesar gas Rusia kedua setelah Jerman menginginkan harga yang lebih murah namun menginginkan kuantitas lebih banyak gas terutama di musim dingin seperti saat ini.
Menteri Energi Turki Taner Yildiz mencatat dalam kunjungan ke Moskow pekan lalu bahwa di beberapa daerah Turki gas 22 kali lebih diperlukan di musim dingin daripada di musim panas.
Perusahaan Gas Rusia Gazprom telah berjanji untuk meningkatkan pengiriman tahun ini ke Turki sebesar 30 miliar meter kubik gas, naik dari 26,7 miliar pada tahun lalu.
Namun Ankara mengingatkan bahwa angka proyeksi tersebut kini anjlok akibat krisis di Ukraina, sebagai negara transit utama.
Sebagai tanda keseriusan dalam menanggapi masalah ini, kepala eksekutif Gazprom Alexei Miller, Sabtu (29/11) mengadakan pembicaraan mendadak di Istanbul dengan Yildiz dan Erdogan, menurut pernyataan perusahaan Rusia tersebut.