REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Pembebasan bersyarat yang diberikan kepada terpidana pembunuhan aktivis hak azasi manusia (HAM) Munir Said Thalib, Pollycarpus Budihari Priyanto, dinilai telah melanggar Nawacita yang menjadi ide Presiden Joko Widodo semasa kampanye lalu.
“Kami sangat kecewa kepada pemerintahan Jokowi yang telah membebaskan Pollycarpus. Secara jelas, Jokowi telah melanggar Nawacita terkait penuntasan pelanggaran HAM,” ujar Wakil Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi, Selasa (2/12).
Senator DPD RI asal Aceh itu berpendapat, dengan memberikan pembebasan bersyarat kepada Pollycarpus, pemerintah tidak saja melukai hati para pegiat HAM. Tetapi, juga merusak citra Indonesia di mata internasional terhadap penegakan HAM.
Fachrul Razi menilai, pemerintah sejak zaman Orde Baru sampai rezim yang sekarang tidak serius menuntaskan berbagai masalah pelanggaran HAM di Indonesia. Mulai dari kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 1965, penembakan misterius (petrus), peristiwa Tanjung Priok, penculikan aktivis, hingga Tragedi Semanggi I dan II.
Semestinya, kata dia, kasus-kasus tersebut menjadi prioritas utama yang harus dituntaskan pemerintah.
“Kegagalan pemerintah dalam menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM menimbulkan pesimisme di tengah masyarakat Indonesia. Kepastian hukum seakan-akan menjadi sebuah hal yang utopis. Bahkan, langkah awal pemerintah Jokowi tidak menunjukkan penegakan HAM sebagai program prioritas,” kecam Fachrul Razi.
Padahal mantan aktivis mahasiswa UI itu menuturkan, hampir semua kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Mulai dari pembunuhan masal, pembunuhan semena-mena di luar putusan pengadilan, hingga penyiksaan dan penghilangan orang secara paksa.
Penerapan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga tidak berjalan dengan serius. Ini semakin membuat kami kecewa dengan pemerintah,” ucapnya.