REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tentang pelarangan transhipment atau bongkar muat di tengah laut, membuat para pengusaha tuna nasional menjerit. Meski maksud Menteri Susi adalah untuk menghambat laju operasi para pencuri ikan, namun para pelaku bisnis perikanan dalam negeri yang secara sah memiliki izin, juga terkena dampaknya.
Pasalnya, mereka juga melakukan praktik transhipment demi menghemat biaya bahan bakar. Tindakan bongkar muat di tengah laut, mereka lakukan untuk menghemat 40 persen biaya operasional terkait bahan bakar.
Wakil Ketua Asosiasi Tuna Indonesia, (Astuin), Eddy Yuwono menegaskan, tindakan bongkar muat kapal di tengah laut mereka lakukan bukan untuk menyelundupkan kapal ke luar negeri. "Sebagai pengusaha kami kan butuh siasat agar cost operasionalnya lebih murah. Jadi harusnya dibedakan, transhipment yang dilarang adalah bongkar muat untuk kemudian dibawa ke luar. Lha kami itu transhpiment tapi terus dibawa ke Jakarta," ujarnya kepada awak media, Selasa (2/12).
Untuk itu, Eddy memberikan saran agar pemerintah memperketat pengawasan, bukan lantas melarang semua bentuk bongkar muat. "Padahal solusinya kan ada VMS (alat pendeteksi kapal). Itu trackingnya kan bisa dilihat, ini kapal ngumpul dengan ini. Baliknya ke mana. Sanksinya cabut saja ijinnya. Gampang sekali kok," lanjutnya.
Dengan kebijakan larangan transhipment di tengah laut, menurut Eddy, maka pengusaha tuna akan mengeluarkan biaya operasional dua kali lipat untuk bahan bakar.