REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Ibnu Sina Chandranegara juga meminta majelis hakim MK untuk menolak permohonan pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah. "Alquran secara konkrit tidak menentukan batas usia bagi pihak yang akan melangsungkan pernikahan," kata Ibnu Sina, Selasa (2/12).
Dia mengungkapkan batasan umur nikah berdasarkan Islam adalah sudah cukup umur untuk menikah (baligh), yakni pikirannya telah mampu mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk. Ibnu Sina mengungkapkan bahwa awal baligh secara yuridik berusia 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan, sedangkan batas akhirnya masih terdapat perbedaan di kalangan ulama.
" Menurut Imam Abu Hanifah yakni mencapai usia 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk wanita, sedangkan sebagian ulama Hanafiyah yaitu apabila seorang telah mencapai usia 15 tahun bagi laki-laki dan wanita," kata dia.
Pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah perempuan ini diajukan oleh Indri Oktaviani, F.R. Yohana Tatntiana W., Dini Anitasari, Sa'baniah, Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA). Mereka mengajukan uji materi Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi "Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun."
Pasal 7 Ayat (2) berbunyi, "Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita."
Pemohon berpendapat bahwa aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan, mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang. Mereka mengacu pada Pasal 28 B dan Pasal 28 C Ayat (1) UUD 1945. Pemohon meminta MK menyatakan batas usia menikah untuk perempuan minimal 18 tahun.